Ilustrasi Salafi |
Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi seorang teman yang telah dituang dalam sebuah blog grelovejogja.wordpress.com. Tulisan ini judul aslinya adalah " Mengapa Saya Meninggalkan Salafi".
Jadi bukan pengalaman pribadi saya, karena memang dari dulu saya nggak pernah ikut pengajian salafi, baik ketika masih dikampus farmasi UGM, ataupun setelahnya. Saya hanya ikut beberapa kajian yang lebih netral aja. Bagi teman-teman yang tertarik untuk melihat apa saja alasan Anggun Gunawan meninggalkan salafi silahkan mengunjungi blog nya di link tersebut. Lebih lanjut mengenai kisah nyata mengapa Anggun Gunawan meninggalkan Salafi silahkan baca artikel berikut, semoga saja bermanfaat:
Mengapa Saya meninggalkan Salafi
Oleh : Anggun Gunawan
Perjalanan spiritualku dalam mengenal
Islam menemui babak baru ketika memulai studi di Jogjakarta. Bertemu
dengan senior satu kamar di asrama mahasiswa Sumatera Barat yang
memiliki penampilan aneh. Berjenggot tebal dan celana di atas mata kaki.
Namanya anak kampung yang baru sekali merantau, aku hanya bisa banyak
mendengar apa yang seniorku itu sampaikan. Tiap malam aku dibombardir
dengan istilah-istilah baru yang belum kuketahui sebelumnya tapi
memiliki indikasi negatif dalam agama.
Berjalannya waktu dan semakin intensnya
pembicaraan kami, akhirnya aku mengenal sebuah aliran baru “Salafi”.
Sebuah ajaran yang diklaim sebagai ajaran yang paling benar dan paling
teguh memegang Al Qur’an dan As Sunnah. Sementara gerakan atau ajaran
lain dianggap bid’ah dan tidak sesuai dengan Islam “yang sebenarnya”.
Meski tanpa didampingi oleh sang senior,
aku melakukan pencarian lebih lanjut tentang “Salafi”. Lewat
pamflet-pamflet pengajian yang disebar di kampus, akupun mulai
mengunjungi masjid-masjid tempat berlangsungnya kajian yang bertitel
“mengikuti sunnah Nabi” ini. Aku terpukau dengan kapabilitas
ustadz-ustadznya yang hafal ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist. Banyak
hadist-hadist baru yang kudengar. Tampilan tawadhu’ para pendengar yang
terdiri dari bapak-bapak dan pemuda-pemuda berjenggot-berjubah, serta
wanita-wanita bercadar membuat kepincut untuk terus mengikuti
pengajian-pengajian Salafi, karena sejak SMA aku sudah memilih
memelihara jenggot sebagai sunnah Nabi, sampai-sampai aku berdebat keras
dengan seorang guru berjilbab yang menyuruhku untuk memotong jenggot.
Aku berpikir, inilah tempat aku menemukan teman-teman yang melaksanakan
hadist yang dulu pernah kutemui bahwa memilihara jenggot merupakan
bagian dari sunnah Nabi.
Meskipun masih menjadi orang “aneh”
dengan penampilan modern (celana panjang dan kemeja), keinginanku untuk
belajar mengalahkan rasa risih. Seringkali para jama’ah lain menatap
diriku agak lama. Mungkin karena dirasa sebagai orang baru, gaya
penampilanku yang tidak lazim dapat mereka maklumi. Minggu-minggu
berlalu, aku semakin asyik dengan pengajian demi pengajian. Di Asrama,
sang senior satu kamar semakin intens menceritakan kejelekan-kejelekan
ajaran di luar Salafi.
Aku tak ingat lagi sejak kapan memotong
celana hingga di atas matakaki. Semua celana panjangku kukirim ke tukang
jahit untuk “dirapikan” agar sama seperti celana-celana yang dipakai
oleh anggota pengajian. Jenggotku mulai memanjang dan celanaku tidak
lagi celana lipatan. Mulailah beberapa peserta pengajian mendekatiku dan
mengajakku ngobrol. Aku mulai merasa diterima sebagai bagian mereka.
Aku merasa enjoy karena mulai mendapatkan teman-teman baru. Lambat laun
hubunganku semakin intens dan mengenal lebih banyak lagi teman-teman
Salafi. Sampai suatu kali perkenalan tentang kuliah, aku bilang kuliah
di Filsafat UGM. Sontak saja raut teman bicaraku berubah. Awalnya aku
tak mengerti, kenapa setiap memperkenalkan diri sebagai mahasiswa
Filsafat mereka mencoba mengalihkan pembicaraan?
Akhirnya aku tahu sebab-musabab, kenapa
raut wajah mereka berubah ketika kubilang kuliah di Filsafat. Ternyata
memang Salafi “mengharamkan Filsafat”. Berkali-kali ketika membahas
peran akal dalam memahami wahyu atau kajian-kajian mengenai
firqoh-firqoh Islam, istilah filsafat dikatakan dengan ucapan sinis.
Berbagai istilah dilekatkan kepada filsafat, “ilmu syetan”, “ilmu
sesat”, “ilmu tak bermanfaat”.
Kegelisahan mulai menderaku. Apakah benar
kuliah yang sedang kujalani saat ini adalah kuliah yang mempelajari
ilmu yang dilarang dalam Islam? Suatu ketika kuberanikan diri bertanya
empat mata kepada beberapa Ustadz. Jawaban dari Ustadz yang kudatangi
SAMA. Mempelajari filsafat itu haram. Pertahananku jebol. Aku
benar-benar binggung. Semester 3 aku mulai malas-malasan pergi ke
kampus. Pagi hari dan siang hari aku hanya termanggu di asrama, berkata
pada diri sendiri, “betapa bodohnya aku telah salah memilih jurusan”.
Aku menghindar memilih jurusan hukum atas dasar asumsi “Islami”, hukum
di Indonesia adalah hukum thagut (kafir, sesat). Dan pilihan jurusan
filsafat kusandarkan kepada sebuah artikel dalam terjemahan Al Qur’an
yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Tapi, di Jogja aku menemukan hal
sebaliknya, “Filsafat Haram dalam Islam”.
Akibat jarang mengikuti perkuliahan,
IP-ku jeblok. Padahal semester 1 dan 2 aku berhasil meraih IP di atas 3.
Sementara, aktivitas pengajianku di Salafi semakin intens. Beberapa
kajian yang kuikuti telah melewati batas kota Jogja.
Suatu ketika, aku berpikir tak mungkin
lagi melanjutkan kuliah di filsafat. Kuberanikan diri bicara lewat
telpon kepada Bapak untuk berhenti kuliah. Aku ingin masuk pondok
pesantren, mempelajari ilmu agama yang lebih mulia dari ilmu-ilmu lain.
Kusampaikan kepada Bapak dalil-dalil keharaman filsafat sebagaimana yang
kudapatkan dari ustadz. Bapak marah besar kepadaku. Aku cuek, karena
yakin apa yang sampaikan benar menurut “agama”. Aku bersitegang dengan
Bapak. Beberapa hari setelah percekcokanku dengan Bapak, Ibu datang ke
Jogja. Tak henti Ibu menangis. Memberitahukan bagaimana Bapak kecewa
berat dengan “kegilaan-ku” meninggalkan kuliah di UGM. Ibu memintaku
untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Jiwaku masih memberontak waktu
itu.
Beberapa hari Ibu menginap di kamar. Tak
henti tangisan beliau ketika memintaku untuk memikirkan kerja keras
Bapak menguliahkanku dengan biaya yang besar di UGM. Akupun luluh. Tak
sanggup rasanya melihat Ibu bercucuran airmata. Hati kecil berontak,
bimbang antara memilih “agama” dan keinginan orang tua. Terlintas ucapan
ustadz-ustadz Salafi bahwa hormat kepada manusia tidak perlu jika
melanggar perintah Tuhan, hatta itu orangtua sendiri. Di sisi lain
sanubariku berkata, bukankah agama melarang seorang anak durhaka kepada orang tua?
Aku menghadapi dilema ini sendirian.
Seniorku satu kamar yang mengenalkanku dengan Salafi diam masa bodoh.
Sibuk dengan kerja dan kuliahnya yang memang begitu padat. Menjelang
kepulangan Ibu kembali ke kampung karena sudah tak bisa berlama-lama di
Jogja demi kerja dan mengurusi adik-adikku yang masih kecil-kecil,
beliau kembali memintaku untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku
tak bisa melawan Ibu dab melepas kepergian beliau dengan tangisan.
Kukuatkan tekad dan bilang sama Ibu bahwa aku mengurungkan niat berhenti
kuliah. Aku akan kembali masuk kuliah dan mengejar ketertinggalan
selama ini. Berusaha keras meraih IP seperti 2 semester awal dulu. Dalam
hati aku menguatkan tekad, “persetan dengan kata-kata Ustadz kalau
akhirnya aku membuat Ibu menangis dan Bapak menjadi kecewa. Terserah
dibilang membuang umur untuk mempelajari ilmu yang haram, terserah
dibilang sebagai pengkhianat agama. Persetan dengan semua dalil dan
argumen agamis yang mereka sampaikan. Aku mau menghormati orangtuaku
meskipun dianggap sebagai “kedurhakaan” kepada Tuhan.
Titik balik itu berlangsung saat liburan
semester 6, persis tiga tahun aku menjalani hidup sebagai mahasiswa di
Jogja. Kudatangi kampus untuk registrasi masuk kuliah semester 7.
Kuminta transkrip nilai. Tak sampai 40 sks mata kuliah yang telah
kuambil. IPK-pun hancur di bawah 2,5. Hanya satu tekad kukobarkan, aku
tak boleh mengecewakan Bapak dan Ibu lagi.
Aku mulai kuliah. Kajian Salafi masih
tetap kuikuti. Aku masih senang dengan uraian hadist dan Al Qur’an dari
Ustadz, meskipun sesekali sentilan negatif terhadap filsafat tetap
memerahkan mukaku. Aku kemudian menjadi orang aneh. Pergaulanku dengan
teman-teman Salafi semakin luas, karena aku adalah santri yang unik bagi
mereka, menjadi Salafi tapi kuliah di filsafat.
Suatu hari di tahun awal 2006, aku
memutuskan untuk masuk Muhammadiyah lewat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
UGM. Aku mulai intens mengikuti kajian tafsir Ustadz Dr. Yunahar Ilyas,
Lc di kantor pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Ada hal lain yang kutemui.
Ustadz Yunahar lulusan Saudi Arabia, sama dengan Ustadz-Ustadz kenamaan
Salafi yang juga menempuh studi di negeri yang didirikan Keluarga Saud
itu, yakni gaya ceramah Ustadz Yunahar yang lebih soft dan lebih
mengedepankan analogi. Tidak pernah beliau menyerang filsafat, malahan
mengatakan filsafat dibutuhkan untuk menghadang musuh-musuh Islam. Aku
terheran-heran. Kok bisa beda ya? Kuperhatikan face ustadz Yuhanar,
kumis menghiasi wajahnya. Jenggot hanya sedikit. Tak pernah kulihat
Ustadz Yunahar memakai kopiah haji meskipun beliau sudah naik haji
berkali-kali. Hanya kopiah hitam nasional yang menurut beberapa teman
Salafi, tidak Islami. Kuperhatikan celana beliau, berjuntai melewati
mata kaki. Aku bertanya, kenapa “Ustadz” satu ini berbeda dengan
Ustadz-Ustadz Salafi-ku?
Keherananku semakin kentara ketika Ustadz
Faturahman Kamal mengantikan beberapa kali kajian Ustadz Yunahar.
Ustadz Faturahman adalah alumni Universitas Islam Madinah yang diklaim
sebagai salah satu pusat keilmuan Salafi. Gaya ceramah beliau berbeda.
Bahkan sesekali beliau membicarakan geliat dakwah kampus yang
menguraikan ketidakwajaran halaqoh dakwah, yang secara eksplisit
mengarah kepada Salafi.
Aku kembali bertanya-tanya, apakah klaim
Salafi sebagai firqoh yang paling benar sebagaimana yang berbuih-buih
disampaikan oleh para Ustadznya BENAR? Sementara itu, senior satu
kamarku yang melepasku dalam kebimbangan sendirian, meninggalkan Jogja.
Dia sudah lulus kuliah dan hendak pulang kampung untuk mencari pekerjaan
demi mempersiapkan lamarannya kepada salah satu teman dari asrama
putri.
Kuliahku berjalan lancar. IPK-ku semakin
hari semakin naik. Aku semakin menikmati perkuliahan dan uraian-uraian
filosofis yang disampaikan dosen. Kajian Salafi mulai jarang kuikuti,
kecuali kajian Ustadz Ridwan Hamidi yang tak bisa kutinggalkan sama
sekali. Aku teramat suka dengan Ustadz Ridwan, yang seringkali mendapat
ejekan dari kelompok Salafi yang lain, karena ceramah beliau yang lembut
dan sering membuat jiwaku tentram.
Singkat cerita, bulan Februari ini aku
akan diwisuda. Menjadi lulusan terbaik fakultas Filsafat UGM untuk
wisuda periode pertama di tahun 2010 dengan IPK 3,61. Penampilanku sudah
biasa. Tak ada lagi celana jingkrang di atas mata kaki dan jenggot
panjang yang awut-awutan. Aku menjadi orang biasa. Aku tetap normal
tidak menjadi gila dengan filsafat yang kupelajari. Aku masih sholat,
baca Al Qur’an dan mempercayai Tuhan. Filsafat telah membuka wawasan dan
perspektifku lebih luas dalam memandang dunia. Tidak seperti saat di
Salafi dengan pola hitam-putih yang dibangun. Hidup dikurung dan dihiasi
kebencian kepada orang lain dengan sekat “Kafir”, “Ahlul Bid’ah” dan
“Kaum Sesat” yang didasarkan bingkai agama.
Bulan ini, aku bisa mengobati airmata Ibu
dan kekecewaan Bapak beberapa tahun lalu. Hari ini aku bahagia tanpa
harus kehilangan keIslamanku. Malahan aku menemukan Islam yang damai
lewat uraian Ustadz Yunahar Ilyas dan Ustadz Faturrahman Kamal.
Aku tak peduli dengan sindiran
keputusanku keluar dari Salafi. Terserah dibilang orang yang futur,
tersesar dari jalan dakwah, atau sebutan menyakitkan lainnya. Aku tak
peduli sama sekali. Yang penting aku masih menyembah Tuhan, masih
mendengarkan Al Qur’an dan Hadist, masih sholat, puasa, mendengarkan
ceramah, dan bisa berbakti kepada orangtuaku. Aku punya jalan hidup
sendiri dan punya kekuatan pikiran untuk mengarahkannya kemana. Aku
sudah tak peduli dengan omongan-omongan negatif tentang keadaanku
sekarang. Terserah mereka mau bilang apa…
Profil Penulis : Anggun Gunawan
No comments:
Post a Comment