Tulisan berikut aku ambil dari sebuah milis yang memberikan sinopsis buku The Black swan yang menghebohkan itu.
Selain "kambing hitam" dan "kuda hitam" yang sudah populer, istilah "angsa hitam" b e l a ka n g a n ini banyak dimasyarakatkan oleh Nassim Nicholas Taleb, seorang pemikir cukup orisinal asal Lebanon (The Black Swan, terjemahan penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2009).
Pertanyaannya: Mengapa dipakai istilah "angsa hitam" sebagai metafora?
Ternyata selama berabad-abad manusia teramat yakin semua angsa itu berwarna putih. Tatkala Benua Australia ditemukan dan di sana dijumpai angsa berwarna hitam, maka runtuhlah seluruh bangunan pengetahuan tentangnya.
Ternyata yang tidak diketahui itu jauh lebih relevan dibandingkan dengan apa yang sudah diketahui.
Ambil contoh lain kejadian-kejadian berikut. Pengetahuan dan pertahanan udara Amerika Serikat menjadi tak ada artinya setelah runtuhnya menara kembar World Trade Center di New York (2001) karena terjangan beberapa teroris.
Atau pengetahuan mana yang menduga bakal terjadinya tsunami di Samudra Hindia pada Desember 2004? Atau rontoknya bursa di AS pada Oktober 1987 yang membuat pemain sekaliber George Soros menderita rugi 350 juta dollar AS? Siapa yang mengira akibat krisis finansial global 2008 kekayaan Aburizal "Ical" Bakrie menyusut tinggal 10 persen dari semula? (ini menurut pengakuan yang bersangkutan).
Sudah tentu peristiwa "angsa hitam" itu tidak hanya mencakup kejadian menyedihkan belaka. Ada juga yang membuat orang terkesima. Misalnya terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden AS walau beberapa tahun sebelumnya namanya belum beredar. Atau siapa yang menduga serial buku Harry Potter akan meledak sampai ratusan juta eksemplar?
Maka, teori "angsa hitam" itu dipergunakan untuk menunjuk kepada peristiwa-peristiwa tak terduga, dampaknya masif dan setelah kejadian baru dilakukan rasionalisasi, pembenaran dengan penjelasan retrospektif.
Ada dua kubu
Buku The Black Swan meski menjadi international bestseller, bukanlah bacaan pop. Ia merupakan karya serius seorang mahaguru di bidang ilmu-ilmu ketidakpastian uncertainty), teori kemungkinan (probability), dan masalah kemujuran (luck). Namun, menurut hemat saya, ia bukan sekadar refleksi seorang cendekiawan, melainkan lahir
karena terbantu tempaan masa lalunya sebagai pialang saham.
Dapat ditambahkan, dalam pasar finansial, segala sesuatunya itu bergerak sangat sensitif, penuh risiko, dan ketidakpastian. Orang boleh memprediksi secara "ilmiah" harga minyak atau kurs dollar setahun ke depan. Namun, perhitungan itu lebih banyak berdasar asumsi-asumsi tertentu. Banyak variabel baru dapat menyusup yang
menjungkirbalikkan pelbagai prediksi.
Salah satu bagian pokok buku ini sebenarnya ingin bicara mengenai dua wilayah aktivitas kehidupan dan pergumulan manusia dengannya. Wilayah pertama disebut Mediocristan, tempat di mana bagian besar kehidupan berjalan rutin, biasa, jelas dan lebih mudah diperkirakan. Misalnya profesi orang kantoran dengan imbalan tetap, pilot, dosen, peneliti di laboratorium ilmu murni, dan sebagainya. Di sini yang penting adalah keamanan kerja dan kepastian menerima upah tertentu.
Sementara wilayah lainnya adalah Extremistan, di mana dapat muncul hal-hal yang tak terduga, kebetulan, baik yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Inilah wilayah kegiatan kaum wiraswasta, artis, pemain sepak bola profesional, pengarang lagu atau buku, pemain di pasar modal, dan lain-lainnya. Di wilayah ini unsur variabel untuk naik atau turun mudah berayun.
Dua wilayah di atas hanya merupakan pembagian kasar belaka dan orang bebas mondar-mandir dari satu wilayah ke tempat lainnya, bolak-balik. Misalnya seorang wartawan film hakikatnya ada di Mediocristan. Begitu ia melangkah menjadi aktor atau sutradara, ia telah masuk wilayah Extremistan. Yang hebat tentunya, kalau kedua kakinya bisa serentak menjejak di kedua wilayah dengan hasil sama-sama bagus. Amat jarang bisa terjadi.
Sudah tentu apa yang disebut wilayah itu tak hanya bicara soal pilihan profesi, tetapi menyangkut juga pengaruh perubahan teknologi dan perkembangan zaman. Zaman telah membuka lebar peluang orang untuk berkiprah di industri kreatif di mana berbagai pergerakan vertikal lebih dimungkinkan. Di wilayah Extremistan, "angsa-angsa hitam" lebih dirangsang untuk banyak bermunculan.
Agaknya perlu dibedakan antara "angsa hitam" besar yang berdampak masif terhadap kehidupan nasional ataupun internasional dengan "angsa hitam" kecil yang berpengaruh signifikan terhadap kehidupan personal seorang manusia. Misalnya seorang mantan pesuruh yang di luar dugaan berkembang menjadi penyanyi pop yang sukses sekali. Bagi yang bersangkutan, peristiwa ini jelas sebuah fenomena angsa hitam.
Menyindir para juru ramal
Nada dasar buku ini sebenarnya ingin mengolok-olok mereka yang merasa memiliki pengetahuanââ‚â€�katakan para pakarââ‚â€�yang begitu yakin terhadap pengetahuan yang dimilikinya dan sanggup bicara secara meyakinkan, termasuk soal-soal mengenai masa depan. Padahal, dunia ini bergerak makin tidak linier, sehingga ilmu masa lalu itu kerap sudah tidak relevan lagi. Wilayah ilmu yang belum dikuasai masih jauh lebih luas dari ilmu yang mereka pelajari. Nassim Taleb menghendaki, kalau mereka lebih rendah dan secara sadar mau mengakui dari waktu ke waktu: "Saya tidak tahu!"
Sekalipun demikian, ini bukan berarti pengarang anti terhadap segala hal yang berbau akademik. Ia menaruh hormat terhadap Karl Popper yang menjadikan skeptisme konstruktif sebagai metode telaah Popper mengutarakan untuk dapat meramalkan peristiwa-peristiwa bersejarah, orang perlu mampu lebih dulu meramalkan inovasi-inovasi teknologi dan ini pada dasarnya tidak mungkin (hal 234).
Atau terhadap Henri Poincare, seorang matematikawan pemikir yang memperkenalkan ketidaklinieran, efek-efek kecil yang dapat mengantar ke konsekuensi besar. Sebuah gagasan yang mengantar kita pada teori chaos ("Kepak kupu-kupu di New York dapat menimbulkan tornado di Jakarta"). Tampaknya pemikiran mereka sedikit banyak merasuk dalam pola pikir Nassim Taleb.
The Black Swan (terjemahan setebal 443 halaman) adalah karya yang provokatif, membuka pikiran kita dan menurut pengulas, Michael Allen, "buku ini masih akan dibaca sampai 50 tahun ke depan" (ia membandingkan dengan The Open Society and its Enemies, karya klasik dari Karl Popper).
Namun, sejujurnya buku ini tidak mudah dicerna sebab memasuki wilayah teknis untuk orang kebanyakan. Teori induksi, kurva Mandelbrot, logika keacakan fraktal, hukum pangkat, epistemokrasi, dan sebagainya adalah jargon-jargon yang banyak dijumpai. Sekalipun sebenarnya pengarang sudah berusaha untuk membuatnya menarik dengan banyak ilustrasi kejadian. Di sini yang berat dan yang ringan, yang menjemukan dan yang
menarik berbaur menjadi satu adonan. Kita perlu memamahnya secara pelan-pelan dan berulang-ulang. untuk menikmatinya. (Indra Gunawan, Pemerhati Masalah Ekonomi Sosial)
Judul asli: The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable
Pengarang: Nassim Nicholas Taleb
Penerjemah: Alex Tri Kantjono Widodo
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009
Tebal: 479 halaman
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/08/07171538/yang.tidak.diketahui.jauh.lebih.relevan
No comments:
Post a Comment