Berikut adalah artikel yang menunjukkan hal itu:
Edy Joenardi: Saham Bumi Menggelembungkan Asetnya Hingga Triliunan
Dengan modal tabungan Rp 62 juta, Edy memberanikan diri bermain saham lima tahun lalu. Siapa sangka, kini nilai portofolio sahamnya membengkak hingga triliunan rupiah. Bagaimana strateginya?
Nama Edy Joenardi tidak hanya familier di kalangan pengusaha, tapi juga di lingkungan pelaku pasar modal. Sejak 2003 ia menginjakkan kaki di lantai bursa. Ia bermain saham melalui sejumlah broker, seperti Kim Eng Securities dan Nikko Securities. Kode booking-nya, i-Jun (baca: ai-jun), sudah sangat dihafal para pialang saham. Aksinya menjual saham Bumi Resources (Bumi) tahun 2008 dengan nilai yang menggemparkan membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Maklum, aksinya itu memberi kontribusi 90% dari total transaksi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) ketika awal krisis global mendera.
“Saya tidak bisa sebutkan berapa nilai penjualan saham Bumi milik saya tahun lalu. Yang pasti, sekarang dana likuid saya pribadi dan perusahaan milik saya mencapai Rp 12-12,6 triliun,” ujar Preskom PT Ejra Energy, PT Indonesia Equipment dan i-Capital International itu tanpa bermaksud menyombongkan diri. Padahal, ketika masuk ke pasar modal, ia hanya bermodalkan dana Rp 64 juta.
Capital gain yang diraih Edy dari penjualan saham Bumi terbilang dahsyat. Awalnya, ia membeli saham Bumi dengan harga Rp 400-an/lembar. Pada saat harganya menyentuh level Rp 6.000/lembar, ia pun menjualnya. Waktu itu ia membeli 2 juta lot atau sekitar 1 miliar saham. Maka, capital gain yang diraihnya pun mencapai Rp 5,6 triliun. Ketika saham Bumi jatuh, Edy membelinya lagi di harga Rp 700/lembar sebanyak 1 miliar saham juga. Lalu, menjualnya kembali di harga Rp 1.210/saham. “Kejadian seperti ini bisa berulang-ulang,” ia menandaskan.
Itu baru dari saham Bumi. Hal serupa juga ia dapat dari portofolio saham-saham lain, baik di bursa saham dalam negeri maupun luar negeri. Namun, “Dua tahun belakangan saya lebih banyak bermain di bursa saham negeri. Komposisinya, ia menambahkan, 60% dananya diinvestasikan di bursa saham dalam negeri dan 40% di luar negeri. “Saya juga bermain saham via Internet dengan bursa di luar negeri pada tengah malam,” pehobi basket itu mengungkapkan.
Bagaimana ia bisa membaca situasi pasar bahwa inilah saat yang pas melepas Bumi, padahal waktu itu banyak investor yang justru bersikap menahan diri dengan menyimpan (keep) saham migas itu?
Edy mengaku, sebelum pasar modal Amerika Serikat babak belur tahun lalu, ia berhasil menyelamatkan investasi sahamnya di BEI dari imbas krisis global itu. “Sebelum pasar jatuh, saya mendapat berita tentang market AS dari teman-teman pasar modal di AS, yang waktu itu belum berani diungkapkan oleh Bush atau pemerintah negara tersebut. Pada saat yang bersamaan, harga saham Bumi justru rebound di sini hingga Rp 8 ribuan harganya. Lalu saya jual semua,” tutur pria kelahiran Majalengka, 1969, itu dengan lega. Strategi Edy sungguh jitu. Betul saja, sebulan kemudian krisis di AS itu berdampak bagi Indonesia, khususnya BEI, sampai akhirnya saham Bumi di-suspend.
Selain mengandalkan luasnya jejaring hingga ke bursa luar negeri, Edy mengaku tidak rakus dalam bermain saham manakala trennya rebound. Artinya, ketika harga saham grafiknya menunjukkan kenaikan, ia tidak terlalu serakah menunggu capital gain lebih besar lagi. Yang penting, harga sudah naik di atas harga pembelian, maka cepat-cepatlah dilepas. Daripada menunggu persentase kenaikan lebih gede, tapi yang terjadi sebaliknya, harga-harga saham justru terjungkal.
Tidak sekadar mengambil untung sesaat (profit taking) adalah kiat lain Edy bermain saham. Menurut lulusan Magister Manajemen Prasetiya Mulya ini, investasi saham sebaiknya untuk jangka panjang. Ini dibuktikan dengan imbal hasil yang diraupnya dari pembelian saham Bumi itu.
Jurus lain, ketika harga saham rendah, itulah waktu yang tepat untuk masuk atau membeli. Tip ini dibuktikan Edy dengan keberaniannya membeli kembali saham Bumi saat ini, padahal banyak investor yang sekarang justru menjauhi atau menjual saham Grup Bakrie itu. “Saya tertarik mengambil saham Bumi. Beberapa pemegang saham Bumi yang cukup besar dari luar sudah kontak saya. Mereka menunggu langkah saya selanjutnya untuk menyelesaikan masalah Bumi,” ujar aktivis Partai Golkar itu. Menurutnya, terkait dengan transaksi saham Bumi ini, ia tidak melulu berorientasi bisnis. “Saya dididik lingkungan untuk menghargai senior. Kalau saya cuma berpikir profit, saya bisa bergerak dari tahun lalu,” kata pendiri Edy Joenardi Foundation itu. Adapun besarnya saham Bumi yang dibelinya kini sejumlah 9,8% dari total saham beredar dengan harga Rp 425/lembar. Bagi Edy, saham Bumi prospeknya menjanjikan. Sebab, secara internal Bumi tidak ada masalah, baik itu di Arutmin maupun Kaltim Prima Coal, dan produksinya luar biasa.
Bila kita tarik waktu ke belakang, jurus bermain saham Edy dulu tidak secanggih sekarang. Meski demikian, baru empat bulan setelah masuk ke bursa, ia telah memetik untung — yang ia gunakan untuk jalan-jalan ke Singapura. “Sebagai pemula, lima tahun lalu saya belum mengenal apa itu profit taking dan semacamnya,” ujar pria yang pernah menjadi kuli di pabrik itu. Namun, dengan ketelatenan dan kecerdasannya dalam menyerap ilmu, ia pun lebih piawai bertransaksi. Apalagi, belakangan pergaulannya merambah ke pialang-pialang asing di Indonesia dan mancanegara.
“Ya, learning by doing. Saya punya keinginan kuat untuk hidup lebih baik. Semua dipelajari sambil berjalan, tidak harus saya ketahui lebih dulu,” ungkapnya. Namun, ia pun mengakui, ada kekuatan lain di luar dirinya sehingga bisa menjadi sosok yang kaya raya seperti sekarang. “Mungkin Allah sudah menggariskannya,” Edy menegaskan.
Tahun ini Edy mengalokasikan dana minimal Rp 6 triliun untuk investasi di saham, obligasi dan sektor riil. Mengapa? Ia berpendapat, keterkaitan harga saham dan sektor riil sangat kuat. Selain itu, secara bertahap ia bakal menambah porsi kepemilikan saham Bumi. “Contohnya, hari ini (10 Maret) saya membeli 600 ribu lembar saham Bumi di harga Rp 472/lembar via Internet dengan broker BNI Securitas,” katanya seraya menambahkan, beberapa sahamnya dibeli atas nama adik dan kakaknya. Sebenarnya selain saham Bumi, anak ke-6 dari 7 bersaudara ini juga memasukkan saham lain ke dalam keranjang investasinya, antara lain, saham , Bukit Asam dan Antam.
Dalam bermain saham, Edy tidak melulu untung. Sama halnya dengan investor lain, ia pun tak luput dari buntung. “Saya pernah rugi Rp 400 miliar gara-gara kejeblos bermain saham,” ujarnya mengenang pilu. Meski sempat syok, ia segera ingat Allah swt. bahwa semua itu cobaan dan ia pun segera intropeksi. “Mungkin waktu itu saya pamrih atau kurang amal,” katanya menduga. Itulah sebabnya, sejak itu ia selalu menyisihkan sekitar 25% keuntungannya untuk kegiatan sosial. Contohnya, baru-baru ini menyalurkan bantuan sosial Rp 220 miliar dari return main saham ke Edy Joenardi Foundation. Juga, membangun masjid, menyantuni anak yatim, membangun jalan kampung, memberikan 600 traktor (harganya Rp 16-18 juta/unit) kepada petani di berbagai daerah.
Edy juga tercatat sebagai pemilik i-Capital International (ICI) –hedge fund berbasis di Singapura. Perusahaan ini dibesut Edy dengan modal dari koleganya orang asing senilai Rp 2 miliar. Ia bisa pergi ke Singapura berkat keuntungan dari bermain saham. Dan, di Singapura inilah Eddy bertemu partnernya itu.
Ceritanya begini. Kala itu ada seseorang yang meminta berbagi meja untuk menikmati sarapan di Orchid Hotel, tempatnya menginap. “Kami pun mengobrol, saya lalu tahu bahwa dia ingin sekali berbisnis di bidang investasi,” ujarnya. Dari obrolan tersebut, Mr. X (ia menolak menyebut namanya) mengajaknya mendirikan perusahaan investasi.
Lalu, secara intensif kedua orang ini berkomunikasi dan saling mengenal masing-masing. “Saya ajak dia mengenal saya lebih dekat. Saya junjung kejujuran, sampai ia berkunjung ke kos-kosan saya. Tapi, waktu itu saya sudah ngontrak di tempat yang bagus dengan harga Rp 1,4 juta per bulan,” ayah dua anak ini mengenang. Akhirnya, mitranya itu menyerahkan sepenuhnya i-Capital International itu kepada Edy. “Saya sama sekali tidak setor modal, hanya kepercayaan dan berkah dari Allah yang membawa saya seperti sekarang ini,” ia menegaskan.
Edy merasa modalnya hanyalah kejujuran, kemampuannya berkomunikasi dan pengetahuan yang luas yang membuat orang tersebut mempercayakan uang investasinya padanya. “Meski tidak setor modal, saya diberi saham kekayaan intelektual di perusahaan hedge fund itu,” kata lulusan Magister Manajemen dari Prasetiya Mulya. Edy menyebutkan, i-Capital merupakan penyumbang 90% keuntungan usahanya. Perusahaan hedging fund itu 98% investasinya mayoritas di pasar luar negeri. “Saya baru masuk pasar Indonesia 2 tahun lalu,” katanya. Ia menambahkan, minimal investasi di i-Capital setara dengan Rp 2 miliar.
Kini, ICI sudah mengelola dana investor senilai Rp 12 triliun. Nyaris 98% investasi ICI di luar negeri dan baru dua tahun terakhir masuk ke pasar Indonesia. “Tapi, kalau bermain saham pribadi, saya tidak pernah melalui ICI,” ujar Edy yang menyadari hal itu dilakukan agar tidak terjadi konflik kepentingan.
Selain bermain di pasar modal, Edy pun mengelola bisnis di sektor riil. Melalui PT Indonesia Heavy Equipment (IHE) yang dibangun tahun 2008, ia menginjeksikan modal besar yang ia rahasiakan nilainya. Perusahaan ini menyewakan crane yang mampu mengangkat beban 25-600 ton. Pertimbangannya masuk IHE, semua pembangunan infrastruktur pasti membutuhkan crane, sehingga prospeknya cerah. Saat ini kliennya antara lain Freeport, Newmont dan BP Migas.
Ia juga mendirikan PT Ejra Energy (EE) pada 2008. Perusahaan ini bergerak dalam pembuatan tabung gas 3 kg. Kini EE mendapat order dari Wika dan pemenang tender Pertamina. Adapun pabriknya ada dua: di Cikupa, Tangerang, dan di Kawasan Industri Jababeka dengan produksi rata-rata 3-4,5 juta tabung gas tiap bulan.
Kemudian, bekerja sama dengan Grup Summa, Dahana dan Grup Yara dari Swedia, ia melakukan investasi di pabrik amoniak nitrat di Bontang. “Pabrik ini terbesar se-Indonesia dengan kapasitas produksi 350 ribu metrik ton/tahun,” ia mengklaim. Kepemilikan Edy di perusahaan ini sebesar 35% dari total investasi US$ 500 juta. Targetnya, tahun 2011 perusahaan ini sudah jalan. Ia berinvestasi pula di usaha penyewaan rig atau pengeboran minyak bumi. Saat ini ia memiliki empat unit rig dengan kekuatan 450 ribuan pk. Salah satunya disewakan ke Exxon Mobile.
Guna melengkapi investasi rig-nya, Edy pun merambah ke penyewaan rumah terapung (lessee boat) bersama beberapa temannya. Ia menjadi pemilik mayoritas di bisnis ini. Rumah terapung itu diperlukan perusahaan yang akan melakukan pengeboran lepas pantai (offshore). Sarana tersebut digunakan untuk tempat tinggal, rumah sakit, helipad, dan sebagainya dengan harga sewa US$ 75 ribu/hari.
Masih ada beberapa investasi riil Edy lainnya. Misalnya, investasi di pabrik ban untuk alat berat yang terletak di Banten bersama sejumlah kawannya. Juga, ada investasi di usaha percetakan PT Data Print. Perusahaan ini memiliki sekitar 300 unit mesin printing yang tersebar di Bandung, Semarang dan Yogyakarta. Edy mengungkapkan, investasinya di sektor riil itu didanai dari keuntungan bermain saham, valas dan sebagainya.
Keuntungan dari investasi di sektor riil ini pun makin menggemukkan pundi-pundi Edy. EE dan IHE, misalnya, meski baru dirintis, telah menyokong laba lebih dari Rp 800 miliar. Yang menarik, dalam menjalankan bisnis, ia tak hanya menggunakan ilmu bisnis, tetapi juga mengandalkan feeling. Orang-orang di sekitar Edy, seperti para direktur utama di perusahaannya, memang heran dan tidak percaya pada apa yang ia lakukan. Nyatanya, langkah-langkah bisnisnya bisa menghasilkan untung. Dalam memilih saham pun ia cenderung demikian, meski sebelumnya juga melakukan riset melalui Internet dan melihat internal perusahaan.
Di mata perencana keuangan, strategi dan return investasi, Edy nyaris sempurna. “Terus terang saya bingung apa yang mau disarankan ke Edy. Karena saya lihat dia sudah jago kok. Apalagi, dia masuk dalam player yang sedang untung. Dia masuk ke saham yang tepat, masuk ke saham Bumi pun di harga yang tepat. Jelas saja untung gede kalau dia main saham Bumi masuk di harga murah, lalu melepas kala harganya naik. Jika kemudian dia masuk sektor riil, buat saya tidak ada bedanya. Dia investor kakap dan saya yakin dia lebih banyak pengalaman daripada saya,” ujar Aidil Akbar Madjid, perencana keuangan dari Pavillion Wealth Management.***
No comments:
Post a Comment