Monday, 1 November 2010

Mengenal sosok Aburizal Bakrie dari dekat Yuk...



Sosok yang satu ini memang sangat terkenal...apalagi bagi pemerhati ekonomi dan bisnis. Karena bisnis bakrie group yang menggurita dan terus mengalami kemajuan sampai sekarang. Ditambah dengan menjadi ketua partai Golkar...Abu Rizal Bakrie menjadi salah satu tokoh kunci dalam bidang politik dan pemerintahan. Lebih lanjut mengenai Abu Rizal Bakrie dan pemikirannya...silahkan simak wawancara berikut yang saya kutip dari bisnis.com.

Aburizal Bakrie
'Jangan berdiri di tempat gelap'
Oleh: Maria Y. Benyamin, Wisnu Wijaya, Sutan Eries Adlin, Lahyanto Nadie, Abraham Runga Mali

Bisnis Indonesia, dalam rangka HUT ke-25, menampilkan sejumlah tokoh bisnis yang inspiratif. Tulisan kali ini menampilkan Aburizal Bakrie pemilik Grup Bakrie.

Sulit menemukan tokoh di
ini yang bisa meramu urusan politik dan bisnis menjadi satu.

Ketika bicara Aburizal Bakrie, kental dengan urusan politik, sedangkan Nirwan Bakrie berhubungan erat dengan bisnis yang kian menggurita.

Grup Bakrie sering membuat keputusan tiba-tiba di dunia politik dan bisnis. Banyak membuat orang terhenyak. Itu mungkin karena pemikiran out of the box dan garis tangan Aburizal Bakrie yang sering menang di kancah politik. Di balik itu semua, Aburizal ingin terus bisa membagikan nasihat kepada orang lain. Berikut wawancara dengan Aburizal Bakrie di kantornya belum lama ini:

Di bisnis Grup Bakrie, siapa sebenarnya yang berperan?

Saya kira saya sudah out of context, saya tidak ikut-ikutan berbisnis lagi, sama sekali. Bahkan banyak bisnis pun saya tidak mengetahui. Tiba-tiba ditanya sama orang, punya kebun di sini? Saya katakan, nggak ada. Namun, kemudian pas acara Golkar, ada orang pakai baju Bakrie. Saya Tanya kenapa kalian di sini? Mereka bilang, Pak...saya dari kebun di sini.

Pada prinsipnya, Grup Bakrie sudah dikelola seluruhnya secara profesional dan Bakrie sudah menjadi institusi sendiri.

Dia tidak lagi merupakan suatu perusahaan keluarga. Saham keluarga sangat minimum sekali. Contohnya di Bumi [PT Bumi Resources Tbk]. Di Bumi, keluarga Bakrie memiliki 22% saham. Dari 22% saham, itu yang punya Bakrie & Brothers.

Bakrie & Brothers dimiliki oleh keluarga Bakrie sebesar 40%. Jadi sebetulnya kalau kami lihat, berapa persen sih keluarga Bakrie memiliki Bumi? Itu hanya 8,8% saham, yaitu 40% dikalikan 22%.

Jadi tidak lagi bisa dibilang Bumi merupakan perusahaan keluarga seperti Siemens di Jerman, Sumitomo, Mitsubishi dan sebagainya.

Kami mulai menerapkan sistem secara profesionalisme dalam manajemen pada waktu Tanri Abeng pada tahun 1990-an. Dengan begitu, sekarang kami melihat seluruhnya sudah full professional, tapi ada chairman-nya. Pak Nirwan Bakrie adalah Chairman dari Bakrie Group. Seluruh sisi perusahaan yang besar-besar, yang kecil tidak, yang kecil seluruhnya dikelola oleh professional seperti direksi dan komisaris.

Kalau dulu, saya Chairmannya. Anin [Anindya Bakrie] adalah sebagai salah satu eksekutif. Dia komisaris di TVOne, tetapi dia presiden direktur di ANTV, presiden direktur di Bakrie Telecom. Jadi kalau masalah-masalah yang rutin setiap hari, perkembangan perusahaan, dia tidak perlu melaporken ke Pak Nirwan. Begitu ada suatu yang besar, yang strategis sifatnya, misalnya rencana penggabungan Esia dan Flexi, pasti dia akan laporkan ke Pak Nirwan, apakah ini benar atau tidak dan sebagainya.

Jadi perusahaan Bakrie ini sudah merupakan suatu intitusi sendiri. Dia tidak lagi perusahaan keluarga. Perusahaan keluarga ya Bakrie & Brothers. Bakrie & Brothers dulu kami katakana operasional, tapi sekarang dia memegang saham di berbagai perusahaan. Nah itu yang dinamakan perusahaan keluarga Bakrie & Brothers. Tapi kalau yang lain bukan.

Grup Bakrie besar di tangan Anda. Nilai apa yang diberikan Pak Achmad Bakrie, sehingga Anda seperti sekarang ini?

Prinsip Bakrie, setiap sen yang dihasilkan oleh perusahaan harus berguna bagi masyarakat. Itu prinsip yang terus dipegang teguh. Tapi kalau kami lihat, sekarang guidance yang kami berikan, pertama, dia harus profesional, kedua dia harus nasionalistik. Ini yang orang selalu lupa.

Pada waktu membuat lambang Bakrie & Brothers, itu tidak dibuat hanya didesain begitu saja. Itu dilakukan dalam 6 bulan. Yang buat namanya Lander, yang juga membuat lambang olimpiade Barcelona.

Dia mendatangi seluruh perusahaan Bakrie. Apa yang dilihat di sana? Rasa nasionalisme yang begitu tinggi dari mulai puncak perusahaan sampai dengan di bawah. Akhirnya timbulah suatu logo yaitu tanah dan bintang. Yang merahnya itu adalah weluku yakni pembajak tanah, dan bintang. Bintangnya bintang tujuh. Apa itu? Reach for the star, put your feet on the ground.

Rasa nasionalisme yang tebal itu yang menghidupkan Bakrie sehingga kami bisa melihat pada saat pada waktu itu saat krisis, seluruh aset yang ada di luar negeri kami jual.

Misalnya yang ada di Australia, kami punya tanah 3,5 juta hektar, kepemilikan sampai kapan saja, lebih besar dari Timor-Timur, sebesar Jawa Barat. Isinya ada 60.000 sapi. Tentu Kangguru begitu banyak, kuda Australia, buaya, dan sebagainya.

Apa yang kami lakukan pada saat krisis waktu itu? Saya jual tanah itu hanya dengan harga A$18 juta. Bayangkan aset yang begitu besar, karena begitu distressed-nya, biasanya orang susah dia ditekan, aset luar negeri lah yang kami jual dan semua uangnya dipakai untuk mengurusi yang ada di Indonesia.

Yang ketiga, kekuatan dari keluarga Bakrie adalah bersatunya seluruh anak-anak dan cucu-cucu Bakrie. Alhamdullilah dalam keadaan suka maupun senang kami tetap bersatu.

Basically dari pada ini semua adalah pendidikan. Pak Bakrie itu sekolahnya sekolah dasar. Saya S1, Nirwan S2, anak-anak kami semuanya S2. Kalau orang mempunyai pendidikan, maka dia tidak akan berebut harta. Yang mereka perebutkan achievement. Masing-masing ingin mendapatkan achievement, bukan uang.

Dia tidak akan buta. Itulah kekuatan keluarga Bakrie sampai saat ini. Alhamdullilah, saya melihat pada generasi ketiga, yakni generasi Anindya, dia menjadi satu tokoh pemersatu dari pada sepupu-sepupunya.

Bagaimana pembagian saham dari Pak Achmad Bakrie kepada anak-anaknya waktu itu?

Sama semua. Pada waktu Pak Achmad Bakrie nggak begitu. Satu untuk perempuan dan dua untuk laki-laki, sesuai dengan hukum Islam.

Kalau kami punya adalah 2/7, 2/7, 2/7, 1/7. Adik saya yang perempuan 1/7. Yang laki-laki semuanya 2/7. Dalam perkembangannya pada generasi kedua dan ketiga, laki dan perempuan sama. Tidak lagi kami bagi-bagi seperti itu. Tapi yang paling penting bukan hanya pembagian. Yang penting lebih atau kurang di antara kami tidak jadi masalah.

Menurut saya yang paling penting dari ayah saya adalah pendidikan. Begitu ada pendidikan, orang tidak akan ribut. Dia akan berpikir pada achievement.

Jadi kalau lihat bagaimana Bakrie mengelola, dia dikelola oleh direktur, diawasi oleh komisaris. Keluarga di mana? Hanya pada keputusan penting. Pak Indra Bakrie mengambil keputusan penting pada bisnis minyak, tapi untuk seluruhnya adalah Pak Nirwan.

Anindya mengambil keputusan penting pada bisnis ICT (information, communication, technology), semua itu yang ambil keputusan Anin, tetapi pada saat keputusan penting, dia report kepada chairman. Dia tidak melaporkan ke saya. Saya nggak tahu lagi urusan bisnis.

Apakah Pak Anindya ini generasi ketiga yang dipersiapkan untuk menjadi the next chairman?

Nggak ada persiapan. Jadi lihat pada achievement masing-masing. Misalnya Ardie [Ardie Bakrie], dia hanya Wakil Dirut di TVOne, dia tidak urus yang lain. Dita, anak saya yang perempuan, dia hanya menjadi salah satu eksekutif pada marketing di Epicentrum, dia tidak masuk di board-nya. Dia di situ karena dia yang mau kerja di situ, jadi nggak ada yang diarahkan ke mana.

Bahkan kami tidak mengarahkan sekolahnya mau ke mana. Misalnya Dita, dia ambil S1 Sastra Perancis. So what? Semuanya mempunyai kebaikan. S2, dia mengambil jurusan komunikasi. Kalau Ardie, S1 dan S2-nya ambil bisnis. Kalau Anindya, S1-nya teknik industri, , S2 bisnis. Jadi masing-masing ini tidak dipersiapkan untuk itu. Saya tentu memberi nasihat, sebagai orang tua, baik kepada adik-adik saya maupun anak-anak saya, tentang wisdom, bagaimana ini sebaiknya, bagaimana itu sebaiknya. Tetapi seluruhnya dilakukan profesional.

Pak Nirwan sering berdiskusi dengan terkait hal-hal teknis?

Kalau ada masalah yang berat, dia diskusi. Kalau nggak ada masalah berat, dia tidak diskusikan. Dia ambil keputusan sendiri. Kalau saya dengar dari luar, ada masalah berat, saya datangi dia dan memberinya nasihat.

Setelah semua yang Anda raih, apa lagi yang menjadi mimpi dalam hidup ini?

Jadi orang yang mempunyai wisdom dan banyak memberikan nasihat banyak. Saya banyak memberikan nasihat ke presiden tentang wisdom yang saya punya, misalnya penanganan masalah Papua.

Saya kira tidak ada menteri di Indonesia ini yang pernah ke Papua lebih banyak dari pada saya. Sampai di puncak gunung. Saya bertemu dengan pasukan pemberontak, tidak ada yang menembak saya. Saya cuma pakai baju begini. Orang ketakutan, tapi nggak ada yang nembak. Lalu kami bikinkan rumah dan saluran air. Umur saya kan sudah tua, sudah 64 tahun. Achievement-nya apa.

Terus terang saja, bahwa langkah dari perusahaan bakrie ini out of the box, misalnya waktu saya mau memperbesar Bakrie Sumatera Plantations. Saat mau beli, ayah saya tanya, dari mana duitnya, wkatu itu US$55 juta. Nanti kami cari deh.

Setelah jadi beli, ada seorang direkturnya mendengar bahwa kami mau memperbesar, kemudian dia bertanya, dari mana duitnya pak? Itu yang membuat saya kecewa. Saya jawab dari Tuhan.

Banyak orang tidak percaya bahwa Bumi membeli KPC & Arutmin. Bagaimana akhirnya bisa?

Cara berpikir yang biasa adalah duitnya berapa, rencananya apa. Ada opportunity sesuai dengan strategi kami, lalu kami grab, uangnya kami cari belakangnya. Beli KPC [PT Kaltim Prima Coal], beli Arutmin [PT Arutmin Indonesia], kami nggak pakai duit.

Bakrie pada 2001 lagi bangkrut. Saya berbicara dengan Nirwan pada 2001, baru saja selesai restrukturisasi dan saham kami di Bakrie & Brothers tinggal 2,5%, sekarang sudah kembali ke 40%. Karena settelement-nya itu adalah utang dengan saham, 2,5% saham saya. Saya bilang begini, dunia ini ke depan, ada shortage energi, shortage air dan makanan.

Akhirnya kami pilih energi. Ok kalau energi gimana? Ingat saham kami di Bakrie & Brothers tinggal 2,5% dan kami tidak mempunyai apa-apa lagi, uang nol bahkan utang banyak.

Terus pada waktu itu diskusi sama Nirwan dan Indra. Mereka setuju dengan energi. Apa peluangnya? Opportunity-nya beli suatu perusahaan yang sekarang diambil oleh PT Pertamina. Namanya Arco kalau nggak salah. Berapa? US$600 juta.

Kemudian lain lagi apa? Batu bara. Saya bilang berapa? US$180 juta, belinya pakai uang nol.

Satu hal yang paling penting, kata-kata ayah saya, orang tidak akan pernah miskin dengan membayar utang. Begitu kami lakukan dengan seperti itu, bank tetap menghargai kami, maka kami berhasil, tanpa uang membeli Arutmin. Masih pinjaman, kami pinjam dari Bank Mandiri dan Jamsostek.

Semua kami lakukan akhirnya bisa, kami beri sweetener lagi. Nah, kemudian pada 2003, kami membeli KPC.

KPC tidak bisa begitu karena penguasa waktu itu memutuskan untuk tidak boleh memberikan pinjaman pada Bakrie, Jadi gimana? Berapa harganya? US$500 juta tambah ada profit dan sebagainya, sehingga kami mesti bayar US$700 juta. Uang kaca mata [seraya jarinya menunjuk bentuk kaca mata yang bulat alias nol]. Nggak ada uang.

Saya berangkat ke London untuk negosiasi dan sebagainya. Saya tawar US$300 juta, dia marah. Akhirnya dia bilang saya mau kasih angka 5 di depannya, akhirnya US$500 juta.

Di Indonesia semua orang ramai-ramai mau beli KPC, Pak Prabowo, kemudian ada Salim dan sebagainya.

Saya bilang, saya nggak mau beli KPC di dalam negeri. Saya mau beli yang punya KPC, yang punya KPC itu perusahaan induk ada dua yaitu Rio Tinto dan BP. 50%-50%, saya beli dua-duanya.

Orang-orang ribut di bawah [struktur kepemilikan saham], saya ambil di atasnya. Terus nggak punya uang, ini adalah keahlian Nirwan.

Setelah saya selesai berunding, saya bertanya ke Nirwan. Dari mana uangnya? Uangnya nol. Mesti bayar US$50 juta. Ya sudah kami cari kredit. Totalnya US$700 juta dan ternyata dapat kredit US$413 juta.

Bank di Indonesia tidak kasi, akhirnya dari Bank Singapura. Mahal sekali. Ya sudah nggak apa-apa. Kurang US$300 juta. Dari mana uangnya? Lagi-lagi inilah keahlian Nirwan. Dia bilang begini saja, dia hubungi kontraktornya KPC, kami mau dapat kontrak ini nggak? Mau katanya. Ok bayar dulu di depan, nanti uangnya saya beri tambahan untung untuk kembaliannya. Pemasaran Jepang, kasi ke Mitsubishi, bayar dulu berapa.

Pemasaran Eropa, pemasaran dunia. Akhirnya dapat US$300 juta. Padahal ini masih barang orang, bukan barang kami. Ini barang orang tapi kami ijon. Nah, pada waktu mau closing, settle the deal, kurang US$4 juta. Saya nggak punya duit, US$4 juta dari US$700 juta, nggak punya duit.

Tiba-tiba telepon dari Nirwan ketika saya lagi di mobil, Din [abang], bank menawarkan tambahan kredit, tapi dia minta suatu sweetener dan besar banget. Jadi dia beri tambahan US$4 juta, tetapi untungnya US$20 juta. Gimana, boleh nggak? Saya bilang, begini Wan, kalau menuruti hati saya, saya tidak mau. Terus dia bilang. Hati? Heart is only for lovers. Saya kaget. Ya sudah kalau begitu, Accept. Makanya kami memiliki KPC. Semua orang marah.

Pemerintah kan mengatakan Rio Tinto sama ini tidak boleh menjual lebih dari US$800 juta, semua orang bilang mahal tapi tidal ada yang nawar, kami tawar US$500 juta dolar, diberi.

Semuanya dari mana? Dari Tuhan. Selalu Tuhan yang beri petunjuk. Kenapa kami masuk energi? Kami berjualan pipa, tetapi masuk energi. Siapa yang beri?. Saya cuma bilang Allah kasih jalan. Waktu mau beli KPC, beli Arutmin, dan Freeport, begitu juga.

Kalau Freeport bisa ceritakan sedikit?

Ketika itu Freeport ditawarkan ke semua orang, tapi tidak ada yang mau beli. Setelah kami ambil baru banyak yang mau. Pada waktu itu, saya deal langsung. Pak Ginandjar [Ginandjar Kartasasmita], duit mau dapat dari mana? Pak, itu soal Tuhan, nanti urusannya.

Pemeirntah mau beli nggak? Tanya Pak Martin, mau nggak? nggak. Ya sudah saya ambil.

Nah terus, emang tangan saya ini luar biasa dari Tuhan. Saya beli Freeport dengan harga pada waktu itu US$24 per saham. Pada saat saya dipaksa Pak Harto [mantan Presiden Soeharto] jual, harga US$29 per saham

Dalam 3 bulan, saham itu turun jadi US$6. Saya mau beli Goodyear, sama size-nya kira-kira. Harganya US$55. Saya beli US$55 lagi, mereka tidak mau. Kemudian, harga karet naik. Dia bilang US$95 juta. Saya tangkap. Saya bilang oke, saya accept. Direktur keuangan saya marah. Pak, kami tidak bisa bayar kembali. Saya bilang bisa. Harga karet waktu itu naik dari US$1 ke US$ 3 dolar per kilo.

Begitu US$3 dolar, tiba-tiba Goodyear membatalkan. Saya marah betul. Uangnya sudah ada. Kontrak sudah ada, terus dibatalin. Siapa yang batalin? Tuhan, bukan saya, lewat tangannya orang Goodyear. Dalam waktu kurang dari 6 bulan, harga karet turun dari US$3 dolar ke 60 sen. Mau bilang apa? Itu kan rezeki saya.

Waktu saya beli Arutmin dan KPC perhitungan saya, batu bara harganya US$25 per ton, orang belum ada bicara batu bara. Sekarang aja banyak. Sekarang harga batu bara US$70-US$80 per ton.

Tapi bisnis Keluarga Bakrie ada yang gagal, program mobil misalnya?

Iya. Mobil sudah bikin jalan prototype dan sebagainya, kemudian datang krisis 1998, tinggal perlu US$40 juta, tidak bisa dapat, dan akhirnya bangkrut. Kalau konsep itu jadi, pasti booming. Sekarang ini belum ada mobil yang pakai kayak gitu. Tapi, percayalah sama Tuhan.

Ketika 1997, Bakrie terpukul karena berutang. Sekarang ini keberanian ini ada lagi. Apa tidak belajar dari krisis terdahulu?

Berbeda. Kalau dulu utangnya itu didasarkan pada konglomerasi. Sekarang utangnya didasarkan pada program. Sekarang kalau kami lihat, dengan bank asing. Tidak ada lobi. Bank asing itu melihat bisa kembali tidak uang saya. Kalau bisa kembali, saya beri, kalau tidak bisa kembali, saya tidak beri.

Misalnya sekarang utang kemarin [Bumi Resources], di bayar US$360 juta, tadi malam diumumkan bahwa dapat lagi obligasi US$700 juta dengan bunga 10,75% per tahun. Itu lebih murah dari kredit yang ada dan bullet selama 7 tahun ke depan. Artinya selama tujuh tahun kami tidak bayar utang. Nah ini dipakai untuk bayar utang yang ada.

Tidak satu sen pun yang dipakai untuk perusahaan. Uutangnya menurun, semakin turun. Jual aset sebelumnya ini dapat US$180 juta. Jadi terus turun utangnya. Jadi selalu berdasarkan kemampuan dari perusahaan yang bersangkutan.

Itu yang kadang kala orang tidak ngerti. Lalu mengatakan bahwa ini ada politik. Masalah Freeport, itu tadinya Ginandjar tidak beri. Dia bilang mau dapat duit dari mana, saya bilang terserah Tuhan aja deh, Jadi KPC politiknya di mana? Pada waktu itu kan yang mau ngambil ada orang lain, saya tidak dibolehkan dapat kredit dari dalam negeri. Pemikiran selalu out of the box.

Out of the box seperti apa?

Anindya ambil ANTV, dalam keadaan rugi, sekarang untung. TVOne yang waktu itu bernama Lativi rugi, sekarang untung. Pada saat untung kemudian bikin Vivanews, ada kredit baru untuk Vivanews itu. Dalam waktu 1 tahun, 2 tahun lah, sudah break-even point [titik impas]. Jadi, pemikiran selalu out of the box. Kalau orang tidak berani berutang, tidak bisa besar.

Di pemerintahan juga begitu Pemerintah kita takut sekali berutang. Kalau di perusahaan, katakanlah utangnya 60%, modal sendiri 40%. Pemerintah kita sekarang utang 26%, kekayaannya 74%. Itu kan terbalik, sehingga kita cuma growth dengan 6%.

Sekarang ini tidak ada lagi orang bakat bisnis di kabinet. Kalau saya berpikir begini, orang mengatakan, misalnya sekarang ini utang kita sekarang cuma 26% dari GDP, saya bilang apaan, mau ngapain? Tidak ada satu pun di dunia yang 26%.

Malaysia itu sampai dengan 46%, jauh di atas. Indonesia paling rendah sendiri. Lalu kemudian Malaysia defisit 6%, kita hanya 2,1% tahun ini, mau diubah lagi 1,7%. Kalau kita defisit 1,7%, sekarang saya perintahkan ke 'anak-anak' saya di DPR supaya pertahankan tetap 2,1% defisit itu. Itu setara dengan Rp28 triliun bedanya.

Dana Rp28 triliun itu untuk pembangunan, infrastruktur, buat Densus 88. Itu bedanya antara ketakutan dari 1,7% ke 2,1% itu Rp28 triliun setahun.

Apakah kita bisa bilang Malaysia sudah bangkrut dengan defisit 6%. Kan nggak. 60% deficit di Amerika. Kita tidak usah meniru itu. Kita dalam UU dibolehkan sampai 3% defisit. Kenapa tidak berani?

Pemikiran out of the box ini membuat kadang-kadang orang salah mengerti, sinis. Bagimana menghadapi kritikan itu?

Tenang saja. Kalau kita yakin apa yang kita buat, jalankan saja. Lihat lagu My Way. Jadi menurut saya, nggak usah pikirin kata orang, kami yakin aja. Kami bisa bayar kembali.

Prinsipnya, seperti kata ayah saya, tidak akan miskin dengan bayar utang, sehingga pada krisis 1998, bayangkan bagaimana psikologi seorang ibu saya. Suaminya membuat Bakrie & Brothers yang dimiliki 100%. Pada wkatu sebelum krisis, dimiliki keluarga Bakrie 55%, setelah krisis kami bayar semua, hanya tinggal 2,5%.

Di situ suatu mental. Suatu saat kita terbang dengan kelas I, suatu saat kita terbang dengan ini. Waktu krisis 1998, kertas mesti dipakai bolak balik.

Pada waktu itu saya ingat Exim Bank Amerika mengatakan saya tidak percaya kepada Bakrie. Saya bilang, ok, saya akan selesaikan, tetapi saya minta pernyataan itu anda cabut kalau saya bisa selesaikan. Begitu beres, mereka bilang, mereka fair, mereka katakana good company.

Banyak kasus yang sebenarnya memerlukan mental kuat. Lapindo misalnya. Semua orang menghujat Anda, bagaima tanggapan Anda?

Tidak usah bayar. Kalau kondisi benar, sebuah PT [perseroan terbatas] itu pemilik saham bertanggung jawab pada saham yang dimilikinya.

Itu barangkali kami mesti bayar Rp50 miliar. Itu saja yang dibayar tanggung jawab kami kalau PT salah. Kalau PT itu benar, dia lari aja, dia nggak bayar apa-apa. Secara bisnis begitu.

Namun, ada satu faktor pemersatu di dalam Bakrie, yakni ibu saya. Dia bilang, kalian ini rezekinya banyak. Sudah, jangan ngurusin salah benar, bantu mereka. Ibu saya bilang begitu. Tidak menyangka, sekarang kami sudah bayar sampai Rp8 triliun lebih. Dari mana? Dari jualin saham-saham kami. Cicil sampai 2012. Jadi mau nggak mau, karena itu prinsip kami.

Rezeki tidak akan hilang dengan menolong orang miskin dan orang susah. Tuhan tidak akan memberi kesulitan yang tidak bisa kami terima., Percaya pada itu aja. Orang ribut, sakit hati. Ya sudah, dibiarin aja. ANTV tidak pernah menjelek-jelekkan orang. Saya tidak mau menjelekkan orang, tetap aja, biasa aja, beritakan yang benar.

Jadi kalau Anda tanya gimana? Yah kesabaran saja. Memang saya mesti akui yang punya mental baja itu Pak Nirwan. Jadi Nirwan pada saat ada kesulitan, dia sudah berada di depan. Saya yang bantu mengatur, tetapi dia yang menghadapi di depan.

Saya banyak mendengar keluarga Bakrie itu selalu ingat pada budi baik seseorang. Misalnya Nalint [Nalinkant Amratlal Rathod, Komisaris Bumi] karena banyak membantu restrukturisasi pada 1998. Terus ada lagi Suryo B. Sulisto yang juga menjadi Preskom Bumi sejak lama.

Kami percaya pada kebaikan orang. Kalau kami menghargai kebaikan orang, maka kami membalas kebaikan itu. Akan lebih banyak lagi rezekinya. Yang banyak bantu kami dengan tunai pada waktu kami tidak bisa berbuat apa-apa, pada waktu krisis 1988, namanya Fuad [Fuad Hasan Masyur] dari PT Maktour. Dia bantu dengan tunai. Jaminan, nggak ada jaminan. Sampai sekarang terus sama-sama kami.

Masalah Lapindo yang tidak mau tanggung jawab. Ya sudah keluar saja, kami ambil sahamnya. Karena berat kan tanggung jawabnya. Jadi Santos dan Medco keluar. Ya sudah.

Kalau punya Medco, kami beli dengan US$1 saham itu. Ya sudah, tetapi prinsip bahwa kami mesti berani. Kalau kami sudah ambil keputusan, kami mesti jalanin. Bahwa orang nyerang, biarkan saja. Kami mesti berani bersikap. Kalau seorang laki-laki sudah tidak berani bersikap, jangan jadi laki-laki.

Ketika Anda masuk Golkar, ada tudingan langkah itu hanya kendaraan untuk melindungi bisnis Bakrie?

Bukan, kami malah diserang. Begini, kalau saya malah melihat pada 2000, susah ya kalau tidak mengetahui cerita yang sebenarnya. Kadang kala orang bilang bohong. Biarlah saya bercerita yang sebenarnya. Saya tidak pernah mau terjun ke politik. Waktu awal 2004, JK [mantan Wapres Jusuf Kalla] dan SBY [Presiden Susilo Bambang Yudhoyono] menang, saya ketemu Pak JK. Beliau memberikan nasihat karena waktu itu saya Ketua Umum Kadin dan Pak JK adalah Kadinda Sulawesi Selatan.

Beberapa kali saya kasih masukan. Terus mau apa Pak Ical? Saya penasihat aja deh. Jadi penasihat saja. Kamu mau menteri? Nggak lah, ngapain saya bilang. Waktu bulan puasa, saya dibangunin jam 10 waktu hari minggu. Saya diminta jadi Menko Perekonomian. Saya bilang nggak. Janjinya kan tidak begitu. Sebelumnya saya sempat ke umroh. Pada 2004 waktu saya baru selesai bayar utang. Itu 2003 November persisnya. Sudah selesai semuanya saya berangkat umroh, saya tanya: Allah, saya tanya masa depan saya ke mana. Saya tidak tahu apakah saya mesti ke dalam pemerintah atau di luar atau berbuat yang lebih besar kepada rakyat.

Saya shalat jam tiga pagi di depan Ka'bah kemudian saya berbicara kepada Allah, saya katakan kalau tugas saya adalah di tempat yang berhubungan dengan rakyat, tolong bukakan pintu buat saya, kemudian saya mencium Hajar Aswad tanpa ada halangan.

Waktu itu banyak sekali orangnya berkeliling Ka'bah. Saya bisa jalan, tidak ada yang nyentuh saya, terus sampai ke Hajar Aswad. Ada askar [petugas di Baitullah] bukannya menyuruh saya, tetapi dia ambil kepala saya dan suruh cium.

Kemudian saya masuk konvensi Partai Golkar, barangkali saya mesti di pemerintahan. Masuk konvensi dan kalah? Saya pikir kemudian, maksudnya saya pikir di Palang Merah Indonesia saja, menggantikan Pak Mar'ie Muhammad.

Datang tawaran Pak Kalla itu, saya pikir mungkin barangkali ini petunjuknya, terus kemudian saya diganti dari Menko Perekonomian ke Menko Kesra, banyak sekali pengalamannya.

Dengan pengalaman yang ada ini, presiden menawarkan kembali menjadi anggota kabinet. Saya bilang nggak, saya mau di mana, saya bilang ke Partai Golkar. Kenapa? Karena Golkar punya kekuatan yang lebih besar untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat bangsa ini. Kenapa tunjuk yang tadi, berbuat banyak lebih banyak lagi.

Jadi 2009 Anda sempat ditawari lagi?

Iya semua orang juga tahu, karena presiden juga happy dengan pekerjaan saya di Menko Kesra.

Anda tilang tidak memanfaatkan TVOne dan ANTV sebagai kendaraan bisnis politik, tetapi kenyataannya pemberitaannya tidak independen?

Ah siapa bilang, itu urusannya mereka, siapa bilang tidak independen. Ada yang jelek lalu dimasukkan, sehingga menjadi baik. Nggak ada tuh.

Tapi kan publik menilai seperti itu?

Tapi kenyataannya nggak. Kalau kami dibilang jelek, rating-nya nggak naik terus.

Di bisnis media, Grup Bakrie banyak mengalami kegagalan. Sekarang ini untuk TV, Anda maju?

Saya lihat begini, dulu yang mengelola adalah generasi kedua. Generasi yang lebih pada satu budaya agrikultur dan industri manufaktur. Pada generasi ketiga, apalagi Anindya dari Stanford, sudah memiliki suatu pengetahuan mengenai informasi dan teknologi.

Pada waktu ANTV dipimpin Nirwan, rugi kan?. Dipimpin Anindya, terus untung. Bisnis telkom dipimpin saya, rugi kan? Dipimpin Anindya bisa untung.

Jadi masalahnya adalah tangan orang berbeda-beda.. Belum tentu Anindya bisa disuruh bikin pabrik pipa. Tapi teknologi informasi, dia kuasai dan saya tidak kuasai..

Namanya dulu Ratelindo, rugi terus kan? Diambil oleh Anindya, tidak sampai setahun, sudah untung. Jadi kalau ditanya bisnis ke depan, salah satu bisnis ke depan, adalah informasi dan teknologi. Ini bisnis di masa yang akan datang.

Dulu telepon belum pakai data, kalau telepon baru pakai buat percakapan. Kalau kita lihat Korea lebih banyak pakai data. Sekarang sudah lumayan. Orang sudah menggunakan BlackBerry. Future-nya ke situ.

Selain teknologi informasi, kira-kira bisnis apa yang menurut Anda prospektif?

Terus terang saya nggak tahu. Itu biarin saja. Tapi saya punya visi ke situ. Film, konvergensi, saya tidak tahu persisnya apa. Anindya bikin yang namanya Bakrie Connectivity. Saya sendiri tidak mengerti. Dia terangin, saya hanya ya ya, tetapi sebenarnya tidak mengerti.

Bagaimana hubungan yang ideal antara bisnis dan pemerintahan seperti apa?

Bisnis berkepentingan mendukung suatu kebijakan pemerintah yang menguntungkan. Misalnya dengan pajak yang rendah, tidak ada pungutan, dan sebagainya.

Suatu aparat pajak dan aparat pemerintahan yang bersih. Itu kepentingan yang didukung melalui partai politik. Itu hubungan yang paling baik.

Kita belum biasa seperti itu, menteri-menteri kita biasanya berkata bahwa orang bisnis itu konotasinya masih jelek. Saya ingat pengalaman waktu mau ketemu neneknya istri saya.

Dia tanya, kamu kerjanya apa, mau melamar cucu saya? Saya jawab. Dagang mbah. Dagang? Kata dia bahwa berdagang itu maling. Sekarang ini citra negatif sudah mulai berkurang. Akademisi boleh masuk pemerintahan, militer juga boleh, tapi para pebisnis malah dicurigai. Kenapa? Ini belum ada pengertian dari masyarakat bahwa bisnis itu baik.

Kami melihat Bisnis Indonesia sebagai koran bisnis ketika itu [pada 1980-an] sebagai yang aneh. Tidak pernah ada tren koran ekonomi kok [para investornya] punya koran bisnis. Padahal [ketika itu juga] ada koran bisnis [yang lain]. Sekarang paling bagus, kemudian orang ikut semua, ada Investor Daily, dan lain-lain.

Orang boleh lihat bahwa bisnis itu tidak jelek, bukan maling. Jadi hubungan dengan politik, yang wajar aja, dia [pelaku bisnis dan politik] mesti di-support, tentu orang mesti berusaha.

Bagaimana pandangan Anda mengenai etika dan governance dalam berbisnis?

Begini, harus ada itu etika dan governance dalam bisnis. Tapi kalau kami lihat standar governance itu apa? Amerika, kami bisa lihat orang Amerika yang masuk, apakah ada standar governance-nya? Setiap kali orang Amerika bilang bagaimana governance di Bumi Resources, saya bilang I am sure that is much better than you in your state. Jadi governance itu perlu. Tapi standarnya apa? Belum tahu, Jangan pakai standar Amerika.

Grup Bakrie mempunyai 7 perusahaan tercatat di bursa. Kemudian Bumi mendapat pinjaman US$1,9 miliar dari CIC. Latar belakangnya apa?

Kalau tidak mempunyai uang, terus cari dan dapat uang berapa saja. kalau dia bayar 19%, tetapi dapatnya 35% bagus tidak? Tidak bisa dapat yang 10% [bunganya], nggak ada yang mau beri. Hitungnya begitu.

Saya ingat waktu itu diajarin Freeport [Jim]. Dia sewa dan bayar 11%. Harbour-nya dia sewakan, hotelnya dia bangun, dia jual, dan dia menyewa lagi. Return on investment-nya 11%. Saya tanya yang sama. Kenapa katanya kamu punya utang, tapi tidak bayar bunganya 11%. Dia bilang eh Ical, kami dapat uang harganya 11%, Kami taruh di bisnis tambang, tetapi harganya [bunganya] 30%. Utung nggak kami?. Ini juga begitu.

Memang orang tanya, kenapa tidak ambil yang 8%? Bisa nggak ambil yang 8%.

Ada satu fund manager bilang, beli saham Grup Bakrie itu sama saja membeli komoditas politik?

[Pemilik saham] Tidak ada yang jual tuh. Artinya [mereka] mau dukung Golkar dong. Alhamdulillah, bilang sama dia.

Selama politik Anda kuat dan stabil, menurut mereka aman beli saham Grup Bakrie?

Begini, Bakrie lahir tahun 1942. Saya baru masuk pemerintahan 2004. Selama 62 tahun Bakrie hidup tanpa politik, jadi jawabnya itu saja.

Tetapi citra di bursa, orang boleh beli saham lain, asal jangan beli Grup Bakrie karena seperti itu?

Kalau sekarang kan, Bumi itu saham sejuta umat. Tidak ada perusahaan yang pemegang sahamnya lebih besar dari Bumi.

Apakah untuk hit and run atau tidak, semua orang bisa untung. Kalau sekarang orang boleh bilang begitu. Tapi sekarang maju terus. Sekarang malah ada BRM [PT Bumi Resources Minerals] yang mau IPO. Saya tidak mengetahui valuasinya-nya berapa.

CIC beri pinjaman ke Bumi dan Bumi baru saja menyelesaikan non-preemptive rights dan menerbitkan obligasi US$700 juta. Apa benar ada investor China yang masuk?

Belum. Saya nggak tahu sama sekali. Tapi ada investor China yang mau masuk.. Detailnya saya nggak tahu.

Bumi kan punya aset yang bagus seperti KPC & Arutmin. Tapi harganya masih di level Rp2.000-an. Ada perusahaan lain yang punya aset lebih kecil, tapi harganya tinggi. Seperti apa bapak melihat ini?

Kami lihat saja. Kalau saya sih optimistis harga saham Bumi akan kembali lagi ke posisi yang lalu. Optimistis saja.

Bagaimana hubungan Anda dengan Cikeas. Kalau dilihat, seperti sandiwara saja?

Bukan sandiwara. Benci tapi rindu.

Di satu sisi, staf khusus presiden menyerang soal pajak terus, Gayus bernyanyi, tetapi di sisi lain Anda juga di Setgab Ketua Harian. Sebenarnya yang terjadi apa sih?

Kayak Manchester United dan Chelsea saja. Bersahabat.

Perkataan Staf Khusus Kepresidenan Denny Indrayana bikin panas telinga?

Ya tidak apa-apa. Kalau orang kecil bicara boleh aja dong. Biarkan saja. Tidak ada yang dengar juga kan.

Apakah Anda tidak terganggu?

Nggaklah. Kami juga bicara di DPR. Orang DPR juga bicara pemerintah tidak fair. Boleh juga kan?

Tapi akhirnya dalam 'pertandingan tinju' ini selalu Anda yang menang?

Nggak. Kami mendukung kebijakan Presiden SBY.

Saya kira mulai dari Golkar, Kadin, semuanya ini dikatakan sebagai kemenangan Anda?

Di Kadin, SBY tidak ikut-ikutan. Saya kira Kadin itu tempat mainnya saya. Saya 10 tahun di Kadin. Hubungan saya dan SBY bukan kalah dan menang. Tidak banyak orang bahkan di sekeliling SBY yang berani bilang ke SBY yang benar.

Persoalannya, saya selalu bilang yang benar, meskipun di kuping panas. Saya memang seperti itu. Banyak yang tidak suka, ya tidak apa-apa. Tapi, saya beri tahu yang benar, untuk kepentingan bangsa ini.

Makanya saya tetap mengatakan tidak boleh ada kenaikan TDL lagi. Karena industri akan mati. Kalau industri mati, rakyat juga mati. Kalau bujet itu, kalau perlu tambah defisit, ya tidak ada masalah, tetapi jangan bikin industri kita mati. Menurut saya kalau bicara TDL yang mesti disalahkan adalah berapa cost price PLN. Itu akan menyangkut banyak kepada apa energi yang dipakai.

Saya dengar PLN impor lagi 1.000 buah generator BBM yang 1 megawatt. Berarti tambahan lagi subsidi. Itu nggak benar.

Sering berkomunikasi dengan Pak SBY?

Sering sekali. Sebagai manusia, tentu ada yang senang dan tidak senang, tapi orang di luar tidak senang. Tapi saya berprinsip satu hal,. Indonesia sudah berkali-kali dari Zaman Soekarno, Soeharto, kemudian Gus Dur, dan Habibie juga ditolak. Masak presiden tidak sampai 5 tahun. Di Golkar, instruksi saya jelas bahwa pemerintahan SBY harus bisa bertahan sampai 2014. Itu prinsip.

Setelah 2014, baru giliran Anda?

Bukan. Ha ha ha...

Kan sudah jadi ketua umum partai?

Kan tidak harus. Presiden Barack Obama bukan ketua umum partai. SBY juga bukan.

Ada niat ke sana?

Niat? Nggak ada. Karena kami bukan keluarga [politisi], makanya niat nggak ada. Saya juga sadar orang-orang di Golkar. Begitu Golkar naik ke posisi satu, naik saja suaranya dari posisi 14% menjadi 20%, pasti orang akan mencalonkan saya. Pasti begitu. Kita lihat nanti, apakah itu sesuai dengan harapan rakyat atau tidak.

Yang paling tepat buat saya adalah menjadi penasihat presiden. Saya masih bisa jalan-jalan, saya masih bisa memberi nasihat. Karena pengalaman saya banyak. Saya punya bisnis, saya tahu orang AIDS, tentang orang di Papua, Gerakan Papua Merdeka, saya mengerti asing maunya gimana. Tapi sekarang masalahnya kalau ditanya bagaimana niat? Saya bilang nggak ada. Tetapi bukan berarti saya nggak akan accept suatu waktu. Kalau terpaksa, seperti waktu saya accept tawaran Pak Kalla menjadi Menko Perekonomian.

Apakah Anda yakin Golkar bisa berkembang, apalagi Anda terkenal tangan dingin?

Allah kasih jalan. Dengan usaha, konsolidasi sudah selesai. Kaderisasi tahun depan kaderisasi kami. Kami lihat kemenangan pilkada, Golkar nomor satu. Ini harapan besar. Kedua, kemauan kami, semua sudah mau partai menggunakan satu media untuk iklan. Dan yang paling penting adalah wining is habbit. Waktu dengan Suryo Paloh, saya bilang kalau orang kalah terus, yah kalah terus. Kalau orang menang, yah menang.

Itu sudah dimulai dari Hipmi?

Iya dari Hipmi.

Tahun 2014 masih lama? Bagaimana kondisi Indonesia ke depan?

Saya ngeri (off the record).

Selama mengembangkan bisnis, apa yang paling berat Anda rasakan? Pengalaman paling berat?

Apa yah yang paling berat...mengelola ambisi.

Lantas bagaimana Anda mengatasinya?

Kadang-kadang salah, kadang-kadang benar. Kebanyakan benernya, salahnya juga ada. Tapi memanage ambisi paling susah.

Ujian yang paling berat ada 3 yaitu harta, tahta, dan wanita. Bagi Anda mana yang paling berat?

Ha ha ha..., semua bisa di-manage

Momentum apa di hidup Anda, yang membuat Aburizal Bakrie seperti sekarang?

Semuanya berjalan mengalir. Terbentuknya saya seperti sekarang dari pengalaman hidup saya. Cara berpkir saya kan bukan ekonom. Cara berpikir saya lebih kepada realitas bahwa apa yang bisa dijalankan.

Ekonom pakai beberapa teori yang belum tentu cocok. Deng Xiaoping bilang, kalau di lapangan kita lihat teorinya tidak cocok dengan teorinya, tinggalkan teorinya. Kalau pengalaman saya yang paling besar terakhir ini di Menko Kesra.

Saya ke Yahukimo, Papua. Bayangkan di negara Indonesia ada orang yang belum tahu bagaimana caranya gosok gigi, bagaimana caranya memacul. Itu membuat saya trenyuh. Saya lihat orang sakit AIDS. Saya lihat paniknya dunia karena flu burung, itu pengalaman pribadi yang luar biasa.

Waktu ke Papua. Saya dipeluk-peluk mereka, tak ada rasa takut sedikit pun.

Bagaimana pesan Anda untuk pebisnis Indonesia?

Di bisnis itu selalu jatuh bangun dan harus konsisten menjalankan bisnis itu. Saat kita jatuh, jangan pernah berdiri di tempat gelap. Sebab kalau berdiri di tempat gelap, bayangan pun akan lari. Apalagi teman, apalagi bank, karena bank itu selalu melihat yang bagus.

Nama Lengkap : Aburizal Bakrie
Tempat & Tanggal lahir : Jakarta, 15 November 1946
Pendidikan : Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (1973)

sumber:bisnis.com

1 comment:

About Me

My photo
Halo sobat...nama saya Didik Sugiarto.....Saya bukanlah blogger profesional....hanya sekedar hobi ngeblog dan juga belajar cara mencari uang dengan blog.....adsense, amazon, clickbank dll.......semoga blog ini bermanfaat bagi kita semua.