Ditulis pada Januari 18, 2009 oleh hakky saeful
Petikan wawancara dengan Bob Sadino di Kolom Enterpreneur cyberMQ
Bob Sadino, siapa tak kenal nama ini. Di kalangan pengusaha, ia sudah tenar. Di layar kaca pun, wajahnya tak asing. Beberapa film pernah dibintanginya.
Tapi siapa sangka, hidupnya benar-benar rock and roll, nyaris tanpa rencana. Bob Sadino pernah jadi supir taksi, lalu kuli bangunan, sebelum akhirnya jualan telur ayam, ayam broiler, dan sayuran, lalu punya Kemchick sebagai supermarket, dan Kemfood untuk industri daging olah. Total anak-anaknya (begitu Bob Sadino memberi istilah kepada karyawannya) ada 1600 orang. Ia, bahkan mengaku tidak punya tips atas apa yang orang kira sukses atas dirinya.
HIDUP TIDAK LINIER
Rencana itu buat orang yang belajar manajemen, katanya. Menurutnya, rencana itu linier, dari A, B, C, D sampai Z. Sedangkan dalam hidup atau bisnis, jalannya berkelok-kelok, tidak ada yang lurus dan terlalu urut. Sayangnya, rencana-rencana itulah yang diajarkan di sekolah. Padahal dalam pandangannya, rencana adalah racun. Jadi, sekolah itu meracuni otak Anda, ujarnya bikin kaget.
Anda pernah bertualang di Eropa. Apa yang Anda lakukan di sana?
Yah, tahun 1964 di Eropa, saya masih banyak main-mainnya, ngabisin uang, karena saya dapat uang warisan, saya habisin di Eropa dan Amerika, jadi bukan untuk keperluan bisnis.
Anda dari keluarga pebisnis?
Tidak ada, keluarga saya tidak ada yang berbisnis. Keluarga saya katakanlah amteenar (pegawai negeri).
Istri Anda bekerja?
Dulu ia di bank Indonesia New York selam 11 tahun.
Kemudian memilih pulang ke Indonesia.
Saya tidak memilih pulang, saya ketemu ibu pertama kali di Amsterdam. Bergaul beberapa lama, kemudian saya bermaksud untuk menikah. Kebetulan orang tua di Indonesia, ya kita pulang untuk nikah. Jadi pulang ke Indonesia untuk nikah.
Istri Anda ikut?
Istri ikut saya untuk menikah. Ketika saya di indonesia saya masih terikat kerja di Jakarta Lyod dan istri saya masih di BI. Dan ketika saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja di Jakarta Lyod, otomatis istri saya juga keluar dari BI. Saya memilih menjadi supir taksi di tahun pertama. Kemudian saya jadi kuli bangunan di tahun kedua. Sampai tahun 1968 di Jakarta Lyod, tahun 1968-1969 jadi supir taksi, tahun 1969-1970 jadi kuli bangunan.
Dalam arti sebenarnya?
Iya..bukan kuli bangunan tanda petik. Masang plester, pasang batu bata, ubin. Ya kuli bangunan.
Sampai menjadi bisnis?
Saya kan orang yang pertama yang mengenalkan telur untuk bangsa ini, untuk rakyat ini pada tahun 1970. Beberapa minggu kemudian untuk bangsa ini, untuk rakyat ini saya mengenalkan ayam yang Anda kenal saat ini, ayam pedaging. Istilahnya ayam broiler, saya orang pertama yang memperkenalkan itu
Idenya dari mana?
Saya tidak ada ide. Mengalir begitu saja. Saya kirim surat ke negeri Belanda untuk dikirim anak-anak ayam petelor, kemudian beberapa minggu kemudian anak-anak ayam pedaging.
Dapet ide di Belanda?
Dapet idenya malah di Indonesia. Karena saya melihat telur di Indonesia tidak ada yang seperti di negeri Belanda. Anda lihat telur ayam kampung, telur ayam kampung kecil-kecil sedangkan telur yang Anda makan tadi pagi besar. Ada yang warnanya coklat dan putih.
Pasarnya kemana?
Saya dengan ibu menjajakan telur dengan mengetuk pintu rumah orang. Dia bawa 2 kilo saya bawa 3 kilo. Dia ke kiri saya ke kanan. Dan telur saya tidak laku karena berbeda. Mereka hanya tahu telur ayam kampung. Tapi untungnya di Kemang sudah ada warga negara asing sehingga langsung dibeli telurnya dan dari situ bergulir.
Bapak mengemasnya dengan lebih baik...?
Tidak juga. Saya memasukkan ke dalam kantong plastik. Lalu setiap kantong plastik saya berikan setangkai anggrek.
Kemudian bergeraknya kemana?
Bergulir ke ayam. Dari ayam baru ke macam-macam.
Sayuran?
Sayuran belakangan, tahun 1982. Saya adalah orang pertama yang mengenalkan sistem penanaman tanpa tanah, apa yang dikenal dengan hidroponik. Sekaligus saya kenalkan begitu banyak khasanah sayur mayur Eropa dan jenis Jepang untuk Indonesia. Awalnya apa yang saya tanam tidak ada pasarnya. Di mana ada pasar jagung manis? Di mana ada orang menjual jagung manis? Di mana ada orang menjual melon? Dimana ada yang jual terong Jepang? Menjual timun Jepang? Tidak ada. Paprika, dll, juga tidak ada. Jadi saya menciptakan pasarnya..
Ada tipsnya dalam membuka pasar?
Saya tidak pakai tips¦.saya berjalan mengalir aja!
Ada edukasi pasar dulu?
Saya tidak tahu. Saya kan tidak pernah sekolah. Saya hanya menciptakan pasar. Saya suruh orang mencoba jagung manis saya, kemudian ada permintaan saya lanjutkan. Begitu juga orang saya suruh coba melon saya, terus dibeli. Dari permintaan ke permintaan begitu terus menerus. Begitu pasar yang saya ciptakan..
Ada perencanaan, business plan, atau sejenisnya?
Saya adalah orang yang tidak pernah buat perencanaan dalam hidup saya. Dan saya juga tidak pernah buat perencanaan dalam bisnis saya.
Itu (business plan) buat orang yang belajar manajemen. Saya tidak pernah belajar manajemen. (Tidak pernah) ngomong bussines plan, marketing, planning, targeting ngomong goals dan lain-lain. Karena saya tidak pernah buat rencana, saya juga tidak pernah punya tujuan. Otomatis, tidak ada rencana, tidak ada tujuan. Otomatis, mengalir saja.
Kalo hidroponik sendiri gimana?
Oh, itu sudah lama. Tahun 1982. Sekarang saya sudah lama tidak berhidroponik. Sekarang orang-orang yang berhidroponik ria. Saya cuma mengurusi pasarnya saja. Ya, pasar yang produksinya dikerjakan orang lain.
Bapak tidak punya kebun sendiri?
Awalnya saya punya. Dengan ekspor yang ribuan ton ke Jepang, saya kerjakan sendiri. Dan sekian banyaknya permintaan sehingga saya tidak punya waktu untuk mengerjakan produksi sendiri. Saya konsentrasi ke pasarannya saja, dan karena pasarnya meminta macam-macam, saya punya pabrik yang memproses bahan baku yang saya proses dari petani-petani lain.
Bagaimana Anda menjaga kualitas?
Apa itu kualitas? Saya hanya memenuhi apa yang pasar syaratkan. Jadi saya tidak ngomong kualitas lagi. Jadi itulah syaratnya apa saya penuhi, terserah syaratnya apa saya penuhi.
Ada kesulitan?
Tentu. Tapi saya tidak bisa ceritakan kesulitan itu. Karena saya menghadapi kesulitan yang bebeda-beda. Kesulitan hari ini berbeda dengan kemarin.
Sekarang Anda ngurusin pemasarannya saja?
Saya tidak ngurus apa-apa, saya sudah 15 tahun nganggur.
Sehari-hari?
Tidak ngapa-ngapain. Saya hanya penganggur. Tapi saya bisa ekspor ribuan ton ke Jepang. Saya punya kemchick sebagai supermarket, kemfood untuk daging olah dan saya punya 1.600 orang yang bekerja di perusahaan saya. Mau ngapain lagi saya? Jadi saya nganggur.
Bagaimana Anda mengelola perusahaan sehingga besar dan eksis?
Saya tidak pernah membicarakan itu, oleh karena itu bergulir dari satu orang ke 1600 orang. Tidak pernah saya bicarakan, tidak pernah saya bicarakan gaya apa? Bagaimana caranya? Itu benar-benar bergulir begitu saja.
Ada proses delegasi?
Perusahaan ini kan sudah 35 tahun. Tahun ke 20 saya bilang Anda aja deh yang urus, saya tidak mau urus lagi. Ya begitu saja.
Mereka orang-orang yang ikut Anda dari bawah?
Tidak ada orang yang saya ambil dari tengah-tengah, kalo pun dari tengah, saya suruh dari bawah lagi. Semua orang diproses dari bawah dulu.
Anda juga syuting?
Ya kemaren saya syuting bajaj bajuri. Lainnya, dulu banyak. Saya sudah lupa.
Orang sering menanyakan kunci sukses Anda?
Orang-orang tanya kunci sukses? Memangnya suskes hanya sebuah kunci? Sesederhana itu? Apa yang harus saya katakan kepada mereka? Karena saya mengalir saja. Karena saya bukan pendidik, saya bukan ahli manajemen. Bagaimana saya bisa memberi tahu orang lain? 35 tahun, macam-macam pengalamannya. Saya tidak bisa menceritakan apa-apa karena saya tidak mau mereka menjadi saya. Mereka tidak tahu kepahitan yang harus saya telan. Kalo saya beri nasihat ke mereka, masa saya bilang telanlah kepahitan itu!
Kan mereka bisa belajar dari Anda?
Saya tidak mau karena saya tidak mau merendahkan mereka. Ketika Anda meniru jejak saya, Anda tak lebih dari mesin fotokopi. Saya tidak mau Anda jadi fotokopi saya. Jadilah diri sendiri. Hina sekali Anda jadi fotokopinya Bob Sadino. Kalau ada orang yang bertanya pada saya, saya bilang Ya jalankan saja. Alami saja pengalaman yang Anda alami. Saya tidak mau dia mengalami pengalaman yang saya alami karena bukannya tidak mungkin pengalaman saya selama ini hanya pengalaman pahit. Masa saya hanya membagi pengalaman pahit? Bagi saya, apapun bisa jadi peluang. Orang seperti saya melihat peluang tidak ada batasnya. Batasnya langit, tidak ada batasnya. Tergantung Anda, semua jadi peluang. Jadi mungkin bisa sejuta peluang atau semilyar peluang. Batasnya langit, itulah peluang bagi saya.
Bagaimana dengan risiko?
Saya pengambil risiko. Dan ketika saya mengambil risiko, saya ambil risiko sebesar-besarnya. Saya tidak mau resiko yang kecil. Di saat orang memperkecil risiko, bebas dong, kalo dia mengambil resiko kecil, apa yang dia dapet juga kecil. Semakin kecil risikonya semakin kecil yang ia dapat.
Maksud Anda, high risk high return?
Makanya saya ambil risiko sebesar-besarnya. Kewajiban saya mengubah risiko itu menjadi sesuatu yang lain. Dengan kata lain, kita ubah menjadi duit. Iya kan? Tapi saya ga nuntut risiko jadi duit. Saya ubah resiko jadi apa saja. Yang mudah bagaimana risiko itu jadi duit. Jadi risiko kecil kalo diubah jadi duit, ya kecil juga dong. Kenapa orang-orang itu memperkecil resiko? Tidak usah dijawab. Saya tidak butuh jawaban, bagi saya aneh kalo orang mengambil risiko kecil.
Anda bilang, sekolah itu menularkan racun. Racunnya apa saja?
Ya itu tadi, karena Anda belajar manajemen, belajar ekonomi yang saya anggap itu racun. Ketika Anda bertanya tentang marketing Anda bingung. Buat saya sederhana, marketing adalah ketika orang minta A ya kasih A. Begitu sederhana saya melihat marketing. Tapi mungkin Anda melihat marketing begini begitu, menghitung ini menghitung itu. Ketika Anda ngitung, Anda sudah ketinggalan pasar. Itulah racun-racun karena Anda sekolah. Untung saya tidak sekolah, kalo saya sekolah saya akan seperti Anda, otak saya akan penuh racun, ha ha. Anda ngomomg tentang manajemen, mana saya tahu tentang manajemen.
Dengan kata lain, Anda bilang, kalau mau usaha, langsung mulai saja?
Ya sudah, tidak usah ngitung-ngitung terus. Ngapain ngitung-ngitung lagi, mulai aja. Kita mau buka suatu usaha, bukan usaha ngitung.
Beberapa bilang, Anda tipe yang sulit ditebak?
Itu karena saya berpikir sederhana. Jadi entrepreneur itu sederhana, karena kesederhanaan itulah orang kadang bingung. Jadi apa, untuk mengerti saya, Anda harus memproses racun di otak Anda. Harus dibuang dulu. Namanya deschooling process. Anda sekolah kan? Sekarang bagaimana anda menghilangkan apa yang Anda dapatkan di sekolah, itulah deschooling process. Dan itu hampir tidak mungkin. Susah sekali. Saya pakai bahasa orang yang tidak sekolah. Saya salah karena tidak punya rencana, itu kacamata Anda. Anda bisa bayangkan ketika saya jualan telor 5 kilo, saya sudah punya rumah sebesar sekarang? Tidak, kan? Jadi buat apa saya punya tujuan. Pertanyaan berikutnya, sekarang ada rumah sebesar ini, mobil di depan, apa dong ini semua? Ini adalah sebuah akibat dari apa yang saya lakukan. Sedangkan yang Anda lakukan hanya menghitung. Akibatnya orang bingung karena yang mereka lakukan hanyalah menghitung, bukan berbuat. Karena orang punya tujuan, orang punya rencana. Tapi ketika tujuan Anda tidak tercapai, rencana Anda juga berantakan. Rencana itu jalannya linier. Dari A, B, C, D sampai Z. Sedangkan mana ada hidup yang bentuknya linier gitu? Dalam hidup bentuknya berkelok-kelok, jarang ada yang lempeng.
Kalau toh sekolah menularkan racun, Anda bisa kasih tahu cara menawarkan racunnya?
Untuk menghilangkan racun itu, Anda harus pakai cara jalanan dong. Itu yang saya katakan deschooling process. Anda coba buat sesuatu tanpa rencana. Ketika Anda kemarin mau ketemu saya Anda sudah menyiapakn pertanyaan. Jadi kalau pertanyaan pertama tidak terjawab, Anda buyar. Orang ngomong tentang risiko, saya tahu risiko itu apa. Orang diajarkan untuk memperkecil risiko, di mata saya sayang sekali orang yang memperkecil risiko. Tapi di sekolah diajarin pintar, kan? Sedangkan bagi saya, itu bodoh. Karena saya adalah pencari risiko dan saya mengambil risiko sebesar-besarnya. Kenapa Anda harus perkecil risiko itu. Itu sebuah bukti yang Anda pelajari adalah racun. Karena saya sudah membuktikannya. Itu kesimpulannya, kata Bob Sadino, ambil risiko sebesar-besarnya, sedangkan kata guru perkecil risikonya. Saran saya, ambil risiko seutuhnya. Saya tidak bilang risiko itu akan jadi uang. Yang saya katkan ubahlah risiko itu jadi apa saja, bisa kebahagiaan, dll. Tidak harus jadi
duit. Dan ini yang tidak pernah diajarkan di sekolah. Kita kembali ke pertanyaan Anda. Apa key succes faktor saya? itu kental sekali bahasa manajemen. Iya, kan? Kalau mau jujur, kunci sukses saya adalah kebodohan saya.
Kok bisa?
Karena saya bodoh, saya lugu. Mau ngapain saja. Mau mikir apa saja bebas. Sedangkan orang berpikir, oh ngga karena saya di sekolah belajar ini. Sekolah bilang tidak boleh begini-begini, akhirnya orang sulit menjadi kaya, karena bilang risikonya ini, ini, dan ini. Belum apa-apa sudah ngitung dulu. Kapan jadinya dong?
Syarat jadi entrepreneur, menurut Anda?
Memenuhi permintaan yang jelas itu normal. Tapi bagaimana menciptakan permintaan, itu baru. Entrepreneur harus begitu. Tidak ada pasar melon, saya tanam melon. Tidak ada pasar jagung manis, saya tanam jagung manis. Ketika saya pasarkan telor, pasarnya belum ada. Tidak ada pasar ayam broiler.
No comments:
Post a Comment