Friday, 19 March 2010

Sebuah renungan spiritual: Matahari keheningan dari Bali

Dapat artike menarik nih tentang arti pencerahan dan kesadaran manusia. Kalau beberapa waktu yang lalu aku tampilkan review tokoh di TV One dengan pembawa acara Farhan dan tokohnya adalah Gede Prama....kali ini aku ingin sampaikan sebuah artikel yang ditulis langsung oleh Gede Prama di sebuah blog nya di http://gedeprama.blogdetik.com

Tulisan ini sangat inspiratif dan semoga mampu membuka wawasan kita untuk mengenal lebih dalam tentang apa itu pencerahan dan kesadaran spiritual....

Renungan Nyepi 2010: Matahari Dari Bali

Kekacauan kosmik di mana-mana. Barat yang lama menjadi idola dunia dalam keteraturan, kesantunan, keberadaban, sekarang berdarah-darah. Perdana menteri (PM) Italia Silvio Beluschoni dilempar patung hingga berdarah mukanya. Kasus pemimpin dilempar sepatu tidak saja dialami oleh mantan presiden Amerika Serikat George Walker Bush, rabu 23-2-2010 PM Turki Recep Tayyip Erdogan juga dilempar sepatu.

Politik di negeri ini juga menyentuh hati. Bila di zaman Majapahit, raja diyakini sebagai reinkarnasi dewa, sehingga tatanan kosmik terjaga rapi, di zaman ini ada yang tega menyamakan pemimpin dengan kerbau. Meminjam pendapat sahabat Mohamad Sobary: “Tiap presiden dikutuk. Sesudah dijatuhkan, dengan sinting merasa bangga telah menjatuhkan presiden”. Sehingga menyisakan pertanyaan, kapan negeri ini punya energi serius untuk meninggalkan kemiskinan dan ketertinggalan?

Bila tubuh manusia diibaratkan alam, tatanan kosmik terjaga bila topi menutup kepala, sepatu melindungi kaki. Kekacauan kosmik terjadi bila sepatu dilemparkan ke kepala, pemimpin (kepala) diperlakukan secara menyentuh hati. Bila alam kemudian berespon dengan kekacauan (sabtu 27-2-2010 bahkan terjadi gempa dahsyat berkekuatan 8,8 skala Richter di Cile yang diikuti tsunami di sepanjang Pasifik), tentu saja bukan kebetulan, karena alam memantulkan perilaku manusia.

Istirahat dalam Kealamian

Bila boleh lari, banyak yang lari dari kekacauan ini. Namun sudah menjadi hakekat kehidupan sejak dulu penuh godaan. Di zaman Sang Rama penggodanya Rahwana, di zaman Sang Buddha penggodanya Devadatta, di zaman Yesus Kristus penggodanya Yudas, di zaman nabi Muhammad penggodanya suku Quraishi. Sehingga memberi inspirasi, bila di zaman ketika lahir nabi dan kitab suci saja ada penggoda, apa lagi di zaman gelap ini.

Sehingga lari dari kekacauan sesungguhnya tidak alami, karena dalam kekacauan ada keheningan, dalam keheningan ada kekacauan. Ini yang menyebabkan para suci beristirahat dalam kealamian.

Salah satu pesan Yesus yang teramat menyentuh berbunyi: “Be still and know that I am God”. Heninglah dan lihat bagaimana kesempurnaan membuka rahasianya. Mistikus sufi Jalalludin Rumi pernah membuat puisi bagus sekali: “Hidup seperti tinggal di losmen. Setiap hari tamunya berganti. Namun siapa pun tamunya, jangan lupa tersenyum”.

Saking teguhnya Mahatma Gandhi dalam berjuang, kerap ditanya apa senjatanya dalam berjuang. Dengan tenang Gandi menjawab: “doa dalam diam”. Tatkala murid-muridnya bertengkar tidak bisa diakurkan, GA Buddha memilih pergi ke hutan bersahabatkan alam.

Matahari Keheningan

Lain tempat lain cerita. Tetua Bali menjaga generasi berikutnya dengan menyisakan sejumlah warisan spiritual. Di Pura Kehen Bangli tetua meletakkan prasasti tua yang berisi undangan untuk pulang. Makna pulang memang amat beragam. Namun salah satu tanda manusia telah pulang kalau sudah berisitirahat dalam kealamian.

Bagi setiap anak yang bertumbuh di desa tua Bali, kemudian bertanya pada tetua tentang religiusitas, biasanya dijawab: “nak mula keto” (memang demikianlah adanya). Seperti memberi kunci rahasia, itulah jalan pulang.

Bagi pencari yang lapar jawaban, haus perdebatan, gembira dengan pertengkaran, jawaban tetua ini mengecewakan. Namun bagi yogi tingkat tinggi, jawaban nak mula keto ini amat mengagumkan. Setelah menggali jauh ke dalam, ternyata kehidupan serupa dengan air di semesta. Hujan deras tidak membuat air bertambah, musim panas tidak membuat air berkurang.

Ia yang mata spiritualnya terbuka akan melihat, kesedihan tidak melakukan pengurangan, kebahagiaan tidak melakukan penambahan. Semuanya sempurna apa adanya. Makanya di Tantra manusia tercerahkan menemukan tiga bentuk samadhi (konsentrasi): samadhi of suchness, samadhi of illumination, samadhi of seed syllable.

Konsentrasi pertama ketemu ketika seseorang bisa melihat semua sempurna apa adanya. Konsentrasi kedua ditandai oleh munculnya cahaya (baik dalam artian simbolik berupa kehidupan terang benderang, juga dalam pengertian sebenarnya dalam bentuk melihat cahaya). Konsentrasi ketiga terjadi ketika seseorang sudah melihat, mendengar, meletakkan aksara suci di dalam.

Perhatikan sendok kecil yang dimasukkan ke dalam cangkir. Sedikit saja digerakkan akan menimbulkan suara. Sebagai pembanding, ambil palu besar kemudian gerakkan dalam ruang yang luas. Tidak ada suara dan benturan. Ini memberi pelajaran, perkelahian, kekacauan terjadi karena ruang-ruang kesadaran manusia semakin lama semakin sempit, picik, fanatik. Tatkala semua terlihat sempurna apa adanya, ruang kesadaran menjadi seluas semesta. Kemudian tidak ada suara yang tersisa, hanya tersisa keheningan yang menawan.

Dunia mungkin terus berputar dengan kekacauan kosmiknya, namun setiap Nyepi terbit matahari dari Bali yakni matahari keheningan.

Perhatikan pulau Bali baik-baik. Di kepala (utara) di mana bisa terlihat matahari terbit sekaligus tenggelam, tetua memberi nama desa dengan Kubutambahan. Kubu artinya rumah, tambah berarti positif (rumah orang-orang berfikir positif). Di kaki pulau Bali (selatan), di mana matahari terbit kerap bercumbu mesra dengan puncak gunung Agung, nama desanya Sanur. Sa dalam bahasa Bali artinya satu, Nur itu cahaya (cahaya yang satu). Dan tempat di mana jutaan manusia dari seluruh dunia mengalami penyembuhan bernama Ubud (ubad alias obat) yang berlokasi di Bali Tengah.

Dibaca menjadi satu, matahari keheningan di dalam mungkin terbit bila manusia mengisi kepalanya dengan pikiran positif, melangkahkan kaki diterangi cahaya yang satu. Sebagai hasilnya, ia tersembuhkan (baca: tercerahkan). Ciri manusia tercerahkan, selalu berjalan di jalan tengah. Puncak pencaharian di jalan tengah bernama keheningan. Di mana seluruh dualitas (benar-salah, suci-kotor, baik-buruk) lebur ditelan keheningan menjadi keindahan menawan. Itu sebabnya, tersisa teramat banyak keindahan di Bali.

Perhatikan titik pusat Pura Besakih (di antara Kiwa-Tengen), tetua memberi tanda Parama Shunya (keheningan yang maha utama). Di tempat itu, tetua tidak meletakkan apa-apa. Karena memang tidak ada lagi yang perlu dijelaskan.

Di mata awam, pencapaian seperti ini bisa disebut negatif (tidak berbuat apa-apa). Tapi di mata guru-guru tercerahkan, ini mengagumkan. Serupa pohon, orang tercerahkan di luarnya memang diam, namun dalam diamnya ia mengolah karbon dioksida (baca: kekacauan kosmik) menjadi oksigen (vibrasi positif) yang amat dibutuhkan. Selamat hari raya Nyepi.

http://gedeprama.blogdetik.com

2 comments:

  1. Hmmmm...luar biasa, dan amat sangat indah bila semua orang dapat melakukannya

    ReplyDelete
  2. Memang..dalam keheningan...semua kebahagiaan akan tumbuh.Seperti sekuntum bunga yang sedang mekar dan menebarkan aroma disekelilingnya.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Halo sobat...nama saya Didik Sugiarto.....Saya bukanlah blogger profesional....hanya sekedar hobi ngeblog dan juga belajar cara mencari uang dengan blog.....adsense, amazon, clickbank dll.......semoga blog ini bermanfaat bagi kita semua.